Jumat, 05 September 2008

DALIHAN NA TOLU Di Bona Pasogit dan di Perantauan



Seminar 100 Thn Gugurnya Pahlawan Nasional
Raja Sisingamangaraja XII ( 26 Mei 2007)
Oleh : Dr. Darwin Lumbantobing
1
Pendahuluan
Budaya adalah suatu sistem penilaian terhadap akhlak, identitas kepribadian dan norma suku bangsa tertentu. Di samping itu, budaya juga merupakan media berkomunikasi dalam kehidupan sosial yang dapat membentuk, mengkontrol dan mendorong setiap pribadi untuk bertindak sesuai dengan nilai dan norma-norma moral yang dianutnya. Oleh karena itu, di samping agama, maka budaya selalu berfungsi sebagai sumber nilai moral dan hal-hal yang baik di dalam kehidupan manusia.
Budaya lahir, bertumbuh dan berkembang dari kebiasaan hidup manusia yang bermanfaat baik, sehingga selalu dipelihara, dipertahankan dan diwariskan secara turun-temurun. Oleh karena itu, tidak ada manusia yang tidak memiliki budaya dan tidak ada budaya yang tidak lahir dari kebiasaan hidup, yang diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian budaya dan kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan. Budaya menjadi media bagi manusia untuk mengekspressikan penilaian, hasrat dan keinginannya. Manusia juga selalu dipengaruhi budayanya dalam bertindak dan memahami segala sesuatu.

Setiap budaya selalu memiliki multi dimensi dalam kehidupan manusia. Bagi masyarakat Batak, misalnya, budaya berfungsi sebagai tatanan sosial, sumber norma moral, hukum dan kepercayaan. Dengan demikian semua aspek kehidupan masyarakat Batak selalu berhubungan langsung dengan budayanya. Peranan dan pengaruh budaya Batak tersebut masih terus ada dan masih dipelihara dan diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari, sekalipun masyarakat Batak modern sekarang ini sudah hidup sesuai dengan agama yang dianutnya, seperti Islam, Kristen dan lain-lain.
Salah satu aspek budaya Batak adalah kinship system, yang mengatur hubungan relasional antara sesama masyarakat Batak, yang dikenal dengan sebutan Dalihan Na Tolu. Dalihan adalah tiga batu tersusun tempat tungku untuk memasak, yang sama tingginya, sehigga tungku yang diletakkan di atasnya tidak oleng dan tidak miring. Ketiga batu tungku tersebut merupakan gambaran dari unsur-unsur kekerabatan masyarakat adat Batak, yaitu dongan tubu, hulahula dan boru. Ketiga unsur DNT tersebut berperan penting di dalam semua aspek pelaksanaan adat sesuai dengan budaya Batak.
Di samping ketiga unsur DNT tersebut, peranan dongan sahuta sangat penting dalam pelaksanaan dan kekerabatan masyarakat Batak, sehingga dikenal sebutan Dalihan Na Tolu, Paopathon Sihalsihal. Sihalsihal adalah batu penyangga ke empat, ketika ketiga batu tungku yang dimaksud dikhawatirkan tidak kuat menyangga tungku yang ada di atasnya. Peranan sihalsihal memberi gambaran bahwa kekerabatan dan pelaksanaan adat budaya Batak tidak akan berjalan sempurna apabila tidak melibatkan dongan sahuta yang berperan sebagai sihalsihal. Artinya, sebagaimana peranan dongan tubu, hulahula, boru yang sangat menentukan untuk pelaksanaan adat, demikian juga peranan dongan sahuta. Pelaksaaan adat dalam kebudayaan Batak tidak dapat berlangsung tanpa kehadiran dan keterlibatan secara langsung keempat usur kekerabatan masyarakat Batak tersebut. Bahkan dongan sahuta dilihat lebih penting karena posisinya dapat menjadi representasi suhut paidua – ‘tuan rumah’ kedua dalam suatu hajatan pesta adat Batak. Itu sebabnya orang Batak mengatakan: Jonok dongan tubu, jonokan dongan parhundul (hubungan sesama anggota sekampung jauh lebih dekat dengan hubungan sesama anggota keluarga semarga).
Dalam realitasnya, setidaknya pada masyarakat Batak tradisional, sebagaimana terungkap dari hasil penelitian V.C. Vergouwen, huta adalah suatu komunitas masyarakat Batak yang terikat dalam kebersamaan hidup sebagai masyarakat adat, hukum, sosial, politik dan ekonomi. Kebersamaan dalam komunitas itu diungkapkan dalam konsep pemahaman dongan sahuta, misalnya tentang kepemilikan bersama, ugasan hatopan, sahuta, sapansur, dan sisada anak dohot sisada boru. Itu sebabnya dalam umpama Batak dikatakan:
Tinallik landorung, bontarbontar gotana.
Sisada anak dohot sisada boru do na mardogan sahuta,
atik asingasing be margana.
Artinya, walaupun penghuni satu kampung terdiri dari berbagai marga, namun mereka memahami tanggung-jawab bersama terhadap setiap putra dan putri yang ada di kampung tersebut. Oleh karena itu, di samping komunitas kekeluargaan DNT, dongan sahuta menjadi suatu komunitas masyarakat Batak yang tidak kalah pentingnya dalam kehidupan sehari-hari. Dogan sahuta adalah penyangga yang sangat menentukan dalam kehidupan komunitas Batak yang diikat dalam kekerabatan DNT.
2
Falsafah Dalihan Na Tolu
Kedudukan dan posisi batu tungku dalam DNT secara metaforis menunjukkan peranan, posisi dan kedudukan setiap anggota masyarakat Batak dalam komunitas DNT. Masing-masing batu tungku itu tidak boleh lebih tinggi dari yang lain, atau lebih rendah dari yang lain. Batu yang satu tidak boleh lebih dekat kepada salah satu batu dari pada batu yang lain. Ketiga batu itu harus tersusun rapi, mempunyai tinggi yang sama, dan jarak yang sama antara yang satu dengan yang lain. Hanya dengan cara demikianlah ketiga batu tersebut berfungsi dengan baik, kokoh dan dapat menopang tungku yang berisi beban yang berat.
Dalam masyarakat Batak DNT, ketiga batu tungku itu merupakan representasi dari hulahula, dongan tubu, boru. Dalam hubungan kekeluargaan yang terjadi akibat perkawinan, maka hulahula adalah keluarga dan marga dari mana isteri datang. Dongan tubu adalah keluarga dan semarga pihak laki-laki atau suami. Boru adalah keluarga yang mengambil putri dari pihak laki-laki menjadi isterinya. yang mempunyai hubungan dan peranan satu dengan yang lain sesuai dengan relasi kulturalnya. Relasi kultural tersebut diungkapkan dengan: somba marhulahula – hormat kepada hulahula. Elek marboru – bersikap lembut terhadap boru, dan manat mardongan tubu - saling menghargai terhadap sesama dogan tubu.
Masyarakat Batak menganut system perkawinan mengambil istri dari marga yang lain, dan tidak boleh megambil istri semarganya. Dengan system seperti itu, maka setiap orang Batak yang sudah kawin akan dengan sendirinya memiliki peran sebagai hulahula, dongan tubu dan boru sesuai dengan posisi dan kedudukannya pada suatu kegiatan pelaksanaan adat budaya Batak atau di tengah keluarganya. Artinya, apabila yang melaksanakan adat itu adalah semarganya, maka psosisi dan peranannya adalah sebagai dongan tubu. Apabila yang melaksanakan adat itu adalah dari pihak marga isterinya, maka posisi dan peranannya adalah sebagai boru. Apabila yang melaksanakan adat itu adalah keluarga yang mengambil istri dari marganya maka posisi dan peranannya adalah sebagai hulahula. Dengan demikian peranan setiap orang Batak dapat sebagai hulahula, dongan tubu, dan boru, sesuai dengan posisinya dalam keluarga dan adat.
Setiap posisi dan peranan dalam relasi kutural DNT mempunyai karakter kepribadian sendiri-sendiri. Karakter dongan tubu selalu menunjukkan diri sebagai penanggung-jawab atas terlaksananya suatu kegiatan adat. Dalam pelaksanaan adat dan relasi kultural sehari-hari ia selalu bersikap akomodatif karena sebagai subjek dalam hubungannya dengan sesama dongan tubunya. Karakter hulahula adalah orang yang harus dihormati, yang selalu ditempatkan dalam posisi yang diutamakan, baik melalui ucapan, sapaan maupun melalui perbuatan. Oleh karena itu sebutan lain untuk hulahula adalah raja. Posisi hulahula sebagai raja adalah sebagai pengayom, penasehat bahkan pemberi perintah. Namun harus pula dicatat, bahwa pemahaman raja dalam relasi kultural Batak tidak sama dengan pemahaman raja yang berkonotasi kepada kekuasaan, hierarkhi jabatan dan wilayah kedudukan. Sekalipun ada ungkapan Batak mengatakan hulahula do sisombaon – hulahula harus disembah, maksudnya bukan menunjukkan kepatuhan karena kekuasaan dan bukan pula kepatuhan karena kepercayaan, melainkan karena menghormati – respect – dalam konteks budaya saja. Karakter boru adalah pelaksana dan pemberi tenaga agar pelaksanaan adat dari pihak hulahula berjalan dengan lancar dan baik. Apabila dongan tubu adalah pelaksana prinsip, hulahula sebagai penasehat, maka boru adalah pelaksana teknis. Boru adalah pihak yang bertanggung-jawab dalam melaksanakan suatu kegiatan adat. Itu sebabnya dikatakan bahwa boru do sisurusuruon – pihak boru adalah untuk disuruh melaksanakan sesuatu. Namun hal itu tidak pernah dipahami sebagai perendahan status sosial atau harkat dan martabat kemanusiaan, tetapi justru suatu kelayakan sesuai dengan posisinya sebagai boru.
Ketiga karakter kepribadian itu ada dalam diri setiap orang Batak. Setiap orang memiliki karakter hulahula, dongan tubu dan boru, yang tentunya tidak diugkapkan sekaligus dalam waktu yang sama, tetapi diungkapkan sesuai dengan posisinya pada waktu-waktu tertentu. Oleh karena ketiga karakter itu ada di dalam diri setiap orang Batak, maka sangat tidak dimungkinkan melekat sifat superior di dalam diri orang Batak ketika berperan sebagai hulahula, atau merasa inferior karena hanya sebagai boru. Atau merasa sebagai pihak penentu di dalam suatu pelaksanaan adat karena dalam posisi dongan tubu. Ketiga karakter itu dilakoni dalam posisi-posisi tertentu, di mana peranannya silih berganti sesuai dengan posisinya di tengah-tengah keluarga.
Dari karakter kultural itu lahirlah berbagai pola pikir dan pola laku, bahkan akhirnya merupakan local wisdom di kalangan masyarakat Batak. Misalnya ada ungkapan: Martampuk bulung, marbona sangkalan – menunjukkan bahwa dalam kekerabatan masyarakat Batak mempunyai hubungan satu sama lain, namun pasti ada keluarga yang paling dekat. Demikian juga umpama Batak yang mengatakan: Pitu batu martindi, alai sada sitaon na dokdok, yang menunjukkan bahwa dalam kegiatan adat atau kegiatan apa saja, semua orang dapat berperan, namun selalu ada orang yang paling bertanggung-jawab sesuai dengan posisinya di dalam masyarakat adat.
Karakter hulahula, dongan tubu dan boru yang dimiliki semua orang Batak adalah juga merupakan local wisdom. Sebab dengan demikian, setiap orang berperan sesuai dengan posisinya dan bertindak sesuai dengan tanggung-jawabnya. Dengan demikian DNT bukan hanya metaphor of kinship system – gambaran sistem kekerabatan masyarakat Batak, tetapi juga menjadi pandangan hidup dan hubungan sosial masyarakat Batak.
3
Dalihan Na Tolu:
Batak Social Security
Tidak dapat disangkal bahwa Batak atau habatakhon adalah salah satu identitas sosial bagi masyarakat Batak. Di samping agama yang kita anut, budaya dan adat yang bertumbuh dan berkembang di dalam relasi sosial kesukuan merupakan identitas yang sangat menentukan dalam diri seseorang. Adat dan budaya adalah media untuk berkomunikasi, berekspresi dan menyurakan suara hati yang terdalam, baik kepada sesama manusia maupun kepada Tuhan. Oleh karena itu adat dan budaya sebagaimana dapat ditemukan dalam metaphor DNT selalu dipelihara dan wariskan turun-temurun untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karenatu Dalihan Na Tolu dapat dikatakan sebagai Batak Social Security di kalangan masyarakat Batak. Sekalipun kehidupan masyarakat sekarang ini sudah heterogen dan bukan lagi homogen, baik di desa bona pasogit, maupun di kota, namun jalinan kekerabatan di kalangan sesama orang Batak masih sangat dibutuhkan. Apabila sesama orang Batak yang belum saling mengenal bertemu satu sama lain, maka mereka aka berkenalan dengan cara martarombo, memperkenalkan diri sesuai dengan silsilah marga yang ada dalam unsur-unsur DNT. Umpama Batak mengatakan:
Jolo tinittip sanggar mambahen huruhuruan,
jolo sinungkun marga asa binoto partuturan
Artinya: memperkenalkan diri dengan memberitahukan marganya sehingga diketahuilah posisinya sesuai dengan kekerabatan kultural DNT.
Setiap orang Batak dituntut oleh budaya DNT tersebut untuk mengetahui tarombonya, siapa dia sesuai dengan posisinya, apakah hulahula, dongan tubu atau boru. Bahkan beberape dekade terakahir ini, setiap marga telah memiliki ‘password’ marganya, yaitu generasi ke berapa dari marganya atau marga isterinya. Dengan mengetahui ‘password’ marga tersebut, seseorang akan dengan mudah menarik garis kekerabatan kultural dengan pihak lain.
Motif martarombo di kalangan masyarakat Batak adalah menunjukkan sikap keterbukaan untuk saling mengenal, sebagai langkah awal menjalin hubungan kekerabatan kultural, yang berlanjut kepada kekerabatan sosial. Di manapun orang Batak bertemu dengan orag lain, maka akan terdorong untuk berkenalan: apa marganya dan marga isterinya. Apabila tidak ada ada hubungan melalui marganya atau marga isterinya terhadap orang lain, demikian juga marga orag lain atau marga isterinya terhadap dirinya, maka akan dilanjutkan dengan memperkenalkan marga ibu atau marga salah satu kerabatnya yang lain sampai akhirnya ditemukan garis hubungan kekeluargaan. Dengan demikian satu sama lain dapat mengetahui posisinya masing-masing sesuai dengan unsur-unsur DNT.
Di samping itu, dalam upaya martarombo tersebut, masih dicoba mencari hubungan yang lain, yaitu dari mana kampung halamannya. Hal itu didorong oleh penghayatan eratnya hubungan dongan sahuta di kalangan orang Batak. Huta bagi masyarakat Batak merupakan ikatan emosi kultural yang tidak kalah pentingnya dengan kekerabatan marga dalam unsur-unsur DNT.
Sistem kekerabatan – kinship system – dan hubungan atau pertalian keluarga - the affinal relationship – suku Batak memiliki makna magico-religious character (Vergouwen, pp. 54-55). Oleh karena itu, ketidak-tahuan tarombo bukan hanya berarti ketidak-tahuan peran dan posisinya dalam unsur-unsur DNT. Hal tersebut akan dengan sendirinya menimbulkan perasaan ketidak-nyamanan hidup dalam komunitas masyarakat Batak. Oleh karena itu, bagai generasi muda yang berada di perantauan, yang tidak mengetahui tarombonya, adakalanya harus pulang ke kampung halamannya untuk menanyakan peri hal tarombonya. Atau harus bertanya kepada orangtuanya tentang silsilah marganya dan marga dari pihak ibunya. Sebaliknya dengan mengetahui tarombonya akan dengan sendirinya mempunyai posisi dan status dalam lingkungan masyarakat Batak.
Itulah sebabnya dikatakan bahwa peranan dan posisi seseorang dalam DNT merupakan social sececurity bagi orang Batak di lingkungan komunitas masyarakat Batak. Identitas habatakhon yang dimiliki dan dianutnya sangat ditentukan oleh peranannya dalam komunitas masyarakat Batak sesuai dengan posisinya dalam unsur-unsur DNT tersebut. Artinya habatakhon seorang Batak akan diragukan apabila ia tidak mengetahui dengan pasti siapa dia sesuai dengan garis keturunan marganya dan bagaimana hubungannya dengan marga lain, terlebih kepada pihak marga hulahulanya.
4
Komunitas Dalihan Na Tolu
Di Bona Pasogit dan di Perantauan
Salah satu dampak dari penghayatan habatakhon melalui DNT adalah semakin maraknya punguanpunguan – persekutuan yang berlatar belakang budaya Batak. Bruner memakai istilah Batak ethnic association (1972). Ada punguan marga – perkumpulan semarga. Ada persekutuan saompu – keturunan dari seorang bapak leluhur, dan ada puguan parsahutaon – persekutuan sekampung, bukan dalam arti STM - Serikat tolong-Menolong, tetapi persekutuan orang-orang yang berasal dari kampung halaman yang sama.
Persekutuan kultural samarga, saompu, sahuta ini dilaksanakan secara rutin satu kali dalam satu bulan. Ada oraganisasi kepengurusan yang sangat lengkap. Biasanya setiap persekutuan seperti ini mempunyai daftar anggota resmi, anggaran dasar dan peraturan rumah tangga, periodesasi kepengurusan, kegiatan atau program jangka panjang dan jangka pendek dan kegiatan-kegiatan sosial.
Persekutuan kultural ini dirakit dalam dua agenda pokok, yaitu arisan dan partangiangan – ibadah singkat. Tidak ada persekutuan marga yang tidak melakukan arisan yang biasanya dilaksanakan kaum ibu dan melakukan ibadah yang diikuti semua anggota persekutuan tersebut. Atas dasar kedua aktivitas tersebut, tidak jarang persekutuan kultural itu mempunyai program aksi sosial dan melaksanakan kegiatan persekutuan rohani, persis seperti yang dilakukan gereja, misalnya perayaan Natal bersama atau Perayaan Paskah. Dengan demikian persekutuan marga yang berlatar belakang budaya ini tidak lagi sekedar persekutuan kultural tetapi juga sudah menjadi persekutuan rohani, sekalipun anggotanya terdiri dari berbagai denominasi gereja. Itu pula salah satu sebab, mengapa persekutuan marga ini sangat hidup di kalangan orang Batak yang beragama Kristen.
Menurut penelitian Bruner (1972), persekutuan ethnik Batak ini sangat menjamur dan hidup justru di perkotaan di perantuan, seperti Medan, Jakarta dan Bandung. Setelah lebih tiga puluh berlalu, penelitian Brunner tersebut masih benar sesuai dengan realitas yang ditemukan di kalangan masyarakat Batak di perantauan masa kini. Akan tetapi persekutuan berlatar belakang budaya atau marga itu bukan lagi hanya ditemukan di daerah perkotaan atau perantauan, melainkan juga di bonapasogit, di kampung halaman. Di Tarutung misalnya, ada persekutuan Pomparan Si Raja Lumbantobing. Di Balige ada juga persekutuan Pomparan Somba Debata, yiatu marga Siahaan, dan lain-lain. Akan tetapi yang agak aneh, ada persekutuan marga yang mengklaim birsifat nasional bahkan sedunia dan berkantor pusat di Jakarta, bukan di boapasogit. Ini pertanda bahwa yang sangat kuat melaksanakan persekutuan budaya adalah masyarakat Batak yang ada di perantauan, bukan masyarakan yang ada di bonapasogit.
Ada berbagai alasan mengapa persekutuan yang berlatar-belakan budaya kesukuan itu dimanati dan tetap hidup di kalangan masyarakat Batak, khususnya yang ada di perantauan. Pertama, persekutuan budaya atau persekutuan marga merupakan tempat pertemuan sesama keturunan atau pomparan leluhurnya. Persekutuan itu menjadi suatu kebutuhan sosial, karena di sana akan terjadi silaturahmi dan hubungan kekeluargaan yang erat dan familier di antara saompu. Kedua, karena semakin minimnya kesempatan berinteraksi sosial di kalangan masyarakat Batak di perantauan, maka selain gereja yang berlatar belakang etnis Batak, persekutuan marga dan budaya menjadi satu-satunya forum komunitas Batak yang ada. Ketiga, kerinduan bonapasogit dalam arti luas, tidak hanya sekedar mudik atau pulang kampung saja tetapi menikmati dan bernostalgia akan suasana, kekerabatan dan kekeluargaan ketika di bonapasogit, menjadi daya tarik tersendiri untuk menjadi bagian dari komunitas masyarakat Batak di perantauan. Hal itu hanya dapat ditemukan di dalam persekutuan yang berlatar-belakang ethnis tersebut. Keempat, bagi mereka yang menikmati spiritualitas melalui budaya Batak akan lebih cenderung megekspressikan imannya melalui bahasa dan budaya Batak. Oleh karena itu persekutuan kultural seperti persekutuan marga dapat menjadi sarana ibadah sesuai dengan agama yang diimaninya. Kelima, persekutuan kultural seperti persekutuan marga, parsadaan saompu, sahuta, berlangsung dalam relasi kultural, sehingga relasi anggota persekutuan satua sama lain adalah merupakan praktek kinship system dan affinal relationship Batak sebagaimana dijelaskna melalui DNT. Dengan demikian persekutuan kultural tersebut merupakan wadah dan forum persaudaraan yang ditata sesuai dengan unsur-unsur DNT.
Oleh karena itu, pelaksanaan adat budaya Batak, seperti adat perkawinan dan acara adat lainnya, sangat dipelihara dengan baik di daerah perantauan. Bahkan ada anggapan bahwa orang-orang Batak di perantauan lebih ketat melaksanakan adat budaya Batak sesuai dengan unsur-unsur DNT , dengan alasan sebagai upaya pelestarian budaya dan tradisi Batak yang dianggap masih relevan dan aktual diberlakukan dalam kehidupan masyarakat modern. Upaya tersebut tentunya tidak mengabaikan semangat yang menekankan agar pelaksanaan adat Batak dilakukan secara ekonomis, dalam arti tetap menjaga efisiensi waktu, materi dan jasa yang ada di dalam pelaksanaan adat tersebut.
5
Implikasi Dalihan Na Tolu
Terhadap Komunitas Batak
Kini dan Masa Depan
Kini masyarakat Batak, di mana pun berada, hidup di tengah berbagai suku dan agama yang lain. Orang hidup Batak, baik di bonapasogit maupun di perantauan, selalu berhubungan, bersentuhan dan berinteraksi sosial dengan suku dan penganut agama yang berbeda dengan yang dianutnya. Oleh karena itu menjadi penting untuk dipertanyakan, apakah identitas Batak dan habatakhon itu hanya milik satu kelompok saja, atau dari satu penganut agama saja? Apakah budaya Batak dan habatakhon dapat bertumbuh dengan subur dan berdampak positif terhadap orang Batak secara keseluruhan, baik penganut agama Islam, Kristen, Parmalim dan yang lain? Sebab pada kenyataannya, Batak dan habatakhon itu masih hanya merupakan identitas dari sebahagian orang Batak saja. Oleh karena itu, pertanyaan yang perlu dijawab adalah: bagaimana agar identitas Batak dan habatakhon itu dapat menjadi identitas bersama sebagai suku Batak, tanpa dibatasi agama dan kepercayaan yang dianut setiap orang Batak.
Pertanyaan itu tentunya harus dijawab secara bijak, sehingga jawabannya tidak bertentangan dengan pemahaman, tradisi dan kebiasaan yang sudah hidup dan dianut di dalam hidup keberagamaan tertentu. Hal itu sangat dimungkinkan, terlebih dalam praktek kekerabatan Batak dengan kinship system DNT yang dianutnya. Degan demikian pelaksanaan dan penghayatan DNT tersebut dapat menjadi perekat persatuan masyarakat Batak, di manapun berada dan agama apapun dia. Setidaknya persaudaraan dan kekerabatan masyarakat Batak yang sudah diatur dalam DNT dapat applikasikan dan lebih dieffektifkan, sehingga menjadi masyarakat yang bersatu menuju masa depan yang lebih baik.
Dengan demikian ada berbagai lapisan persekutuan yang kita miliki untuk selalu dihayati dan disyukuri. Lapisan pertama adalah persekutuan di kalangan umat beragama yang satu agama. Persekutuan ‘seagama’ itu tentu sah-sah saja dan sangat baik, sesuai dengan tuntutan ajaran dari agama itu sendiri. Akan tetapi kita masih memiliki persekutuan dalam bentuk lapisan yang lain, yaitu sebangsa dan setanah air. Ini juga sangat penting, karena persatuan dan kesatuan bangsa merupakan penyangga kekuatan utama negara kita. Lapisan berikutnya adalah persekutuan sesuku, sebagai masyarakat yang berasal dari etnis, budaya dan pola pikir yang sama, yaitu Batak dan habatakhon. Persekutuan ini melampaui sekat-sekat perbedaan agama dan kepercayaan, daerah tempat tinggal, kawasan kehidupan, bonapasogit atau perantauan, bahkan kalau ada melampaui batas negara dan kebangsaan. Salah satu bentuk persekutuan budaya yang paling praktis adalah menghayati dan melaksanakan hidup persaudaraan sesuai dengan norma dan tatanan DNT tersebut. Dengan demikian kekerabatan dan relasi kultural berdasarkan azas DNT perlu disosialisasikan, diterapkan dan diaplikasikan dalam konteks kehidupan yang lebih luas sehingga menjadi dasar dan azas membangun relasi sosial dalam kehidupan bersama.


Buku Sumber:
1. Bruner, Edward, M, Batak Ethnic Association in the Three Indonesian Cities, Albuquerque, The University of Mexico Press, 1972.
2. Cunningham, The Postwar Migration of the Toba Bataks to East Sumatra, New Haven, South East Asia Syudies, Culktural Report Series, 1958.
3. Vergouwen, J.C, The Social Organization and Customary Law of the Toba Batak of North Sumatra, Martinys Nijhoff, The Hague, 1968.
4. Pedersen, Paul B., batak Blood and Protestant Soul, Grand Rapid, Michiga, Wm B. Eerdmans, 1970.
5. Rodgers, Susan, Angkola Batak Kinship Through Its Oral Literature, PhD Disertation, Anthropology Fept, University of Chicago, 1978.
6. Siahaan, Nalom, Adat Dalihan na Tolu, Jakarta, Grafina, 1982.
Penulis:
Darwin Lumbantobing, lahir 22 Agustus 1956, di Kampung Rawang Kisaran. Doktor Teologi (Lutheran School of Theology / Sekolah Tinggi Theologia Jakarta, 1999). Kini melayani sebagai dosen Teologi Systematik di Sekolah Tinggi Theologia HKBP Pematangsiantar, sekaligus menjabat Kepala Penelitian dan Pengembangan STT HKBP dan Executive Secretary L-SAPA (Lembaga Studi Agama, Pembangunan dan Budaya) Pematangsiantar. Buku terakhir yang ditulis: Lam Tajom Dung Matolpang, (L-SAPA, 2006) sutu refleksi teologis melalui ungkapan dan umpama Batak; dan Berteologi di Pasar Bebas, (L-SAPA, 2007), tentang teologi kontekstual dalam era komunikasi sekarang ini. Bertempat tinggal di kampus STT HKBP Pematangsiantar, Jln. Sang Nawaluh No. 6 Pematangsiantar, 21132.

Read More..

Gondang Batak Dalam Ritual Parmalim:




Makna dan Aspek Performatif
(Seminar Nasional Peringatan 100 Tahun
Gugurnya Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII. Medan, 26 Mei 2007)

Irwansyah Harahap

Pengantar
Jika ada yang bertanya, “Apa hubungan tulisan ini dengan topik acara “Peringatan 100 Tahun Gugurnya Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII?” Apalagi dikaitkan dengan tema “menginterpretasikan kembali nilai-nilai Batak dan Kebatakan” dalam konteks identitas saat ini dan mendatang? Satu-satunya pintu masuk untuk menjawab pertanyaan itu adalah bahwa warga Parmalim merupakan bagian penting dari sejarah kehidupan masyarakat Batak Toba itu sendiri. Lebih khusus lagi, mereka memiliki hubungan emosional-spiritual yang kuat dengan figur/tokoh Si Singamangaraja XII. Komunitas Parmalim, sebagai hal yang paradoksal, tampak sering teralienasi dari cerita sejarah itu sendiri. Apakah ini berhubungan dengan bagaimana teralienasinya sebagian besar warga masyarakat Batak Toba saat ini dengan akar budaya musikal—gondang—yang sudah barang tentu menjadi bagian dari formulasi identitas “Batak” dan “Kebatakan” itu sendiri?
Tulisan ini tidak akan membicarakan dinamika maupun problematika persoalan besar di atas. Tulisan ini lebih berupa ulasan umum mengenai gondang Batak, khususnya yang terdapat dalam ritual komunitas masyarakat Parmalim yang berpusat di desa Hutatinggi kecamatan Laguboti kabupaten Toba Samosir. Isi tulisan meliputi gambaran historis dari keberadaan komunitas Parmalim Batak Toba; makna gondang dalam konteks kehidupan masyarakat Batak Toba secara umum dan kehidupan masyarakat Parmalim secara khusus. Tulisan ini juga mengulas secara ringkas mengenai aspek performatif meliputi ensambel musik, repertoir musik dan praktik ritual-musikal yang terdapat di tengah komunitas warga Parmalim Hutatinggi.



Tentang Parmalim Hutatinggi
Parmalim merupakan kelompok komunitas masyarakat keagamaan lokal tradisional Batak Toba yang terdapat di provinsi Sumatera Utara. Parmalim Nasiakbagi adalah salah satu sekte ajaran yang secara organisatoris berpusat di desa Hutatinggi kecamatan Laguboti di Kabupaten Toba-Samosir. Secara historis, sekte Nasiakbagi, kadangkala disebut dengan parNasiakbagi (pemeluk ajaran Nasiakbagi), didirikan sekitar tahun 1870-1889 oleh Raja Mulia Naipospos, salah seorang pengikut dari Raja Si Singamangaraja XII. Pada waktu berdirinya aliran keagamaan ini, para pengikutnya telah mendapat tantangan berupa pelarangan oleh Rheins Mission Gessenschaft (institusi zending Kristen German yang datang dan sangat berpengaruh di wilayah tanah Batak pada masa itu) dan pelarangan tersebut mendapat dukungan dari pihak kolonial Belanda yang sedang berkuasa (lihat M. Hiroshue 1988).
Sejalan dengan melemahnya tekanan yang diberikan kepada pengikut Parmalim, pemerintah kolonial Belanda akhirnya memberi izin pada warga kepercayaan ini untuk dapat mendirikan rumah peribadatan (bale pasogit/bale partonggoan) bertempat di desa Hutatinggi. Sebelumnya, kolonial Belanda telah menghancurkan bale pasogit Parmalim di Bakkara ketika perang yang terjadi antara Raja Si Singamangaraja XII dan pengikutnya melawan kolonial Belanda di tahun 1883. Momentum perizinan ini dapat dilihat dari dikeluarkannya surat resmi dari Controleur Van Toba, Nomer: 1943/13 tertanggal 25 Juni 1921, sekaligus menandai aliran keagamaan Parmalim diakui secara legal oleh pemerintah Hindia Belanda. Sejak saat itu desa Hutatinggi secara formal menjadi pusat dari berbagai kegiatan kepercayaan Parmalim Nasiak Bagi. Momentum pendirian rumah ibadah ini sekaligus dijadikan oleh Raja Mulia Naipospos dan para pengikutnya menjadi tahun berdirinya Ugamo Malim.
Keberadaan komunitas Parmalim Hutatinggi di masa pasca kemerdekaan Republik Indonesia tidak begitu mendapat perhatian, baik dalam dalam kehidupan sosial maupun spiritualnya. Secara administratif pemerintahan, warga komunitas Parmalim mulai mendapat pengakuan resmi di tahun 1980an dengan menempatkan bingkai spiritualitas kepercayaan yang mereka anut dalam kategori “aliran kepercayaan.” Hal ini mensyiratkan keberadaan mereka secara resmi telah diakui oleh negara.
“UGAMO MALIM adalah agama Batak asli yang berkembang di tanah Batak di bawah pimpinan Raja Si Singamangaraja, di dalam upaya manusia menuju dan Menyembah Tuhan Mulajadi Na Bolon. … Setelah gugurnya Raja Si Singamangaraja pada tanggal 17 Juni 1907dan perjuangan mengusir penjajah, maka dengan perjuangan yang cukup berat dan penuh tantangan, setelah mendapat izin dari pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1921 penganut UGAMO MALIM di bawah pimpinan Raja Mulia Naipospos berhasil mendirikan Bale Pasogit di Hutatinggi sebagai pusat UGAMO MALIM hingga sekarang…” (dikutip dari Pelly, 1987:ix dalam “Hasil Penelitian Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Provinsi Sumatera Utara”).
Pola regenerasi kepemimpinan spiritual dalam ajaran Parmalim Hutatinggi dapat dilihat hubungannya dengan figur Raja Si Singamangaraja. Raja Si Singamangaraja XII, sebagai dinasti terakhir Raja Si Singamangaraja, meninggal pada tanggal 17 Juni 1907. Setelah wafatnya Raja Si Singamangaraja XII, kepeminpinan spiritual dilanjutkan oleh figur Raja Mulia Naipospos (sebagai generasi pertama pimpinan Parmalim Nasiakbagi Hutatinggi). Raja Mulia Naipospos meninggal dunia pada hari Senin, 16 April 1956 dalam usia 130 tahun, beliau diberi gelar Induk Bolon Parmalim. Setelah wafatnya Raja Mulia Naipospos, kepemimpinan spiritual ajaran Parmalim Hutatinggi beralih kepada anaknya, yaitu Raja Ungkap Naipospos. Raja Ungkap Naipospos merupakan generasi kedua, pimpinan Parmalim Nasiakbagi Hutatinggi selama periode tahun 1956-1981. Beliau meninggal pada hari Senin 16 Februari 1981 dalam usia 64 tahun. Setelah wafatnya Raja Ungkap Naipospos, beliau digantikan oleh anaknya Raja Marnangkok Naipospos (generasi ketiga), pimpinan Parmalim Nasiakbagi Hutatinggi sejak tahun 1981 hingga saat ini.
Komunitas ritual dalam tradisi Parmalim Nasiakbagi terbagi atas beberapa sub kelompok yang disebut punguan. Masing-masing punguan dipimpin oleh seorang ulu punguan (pimpinan kelompok berdasarkan wilayah persebaran dimana masyarakat Parmalim berdomisili). Persebaran dari kelompok masyarakat kepercayaan Parmalim meliputi beberapa wilayah di Indonesia, seperti wilayah kabupaten Tapanuli Utara dan Toba-Samosir, kota Medan, Sidikalang, Batam, Pekanbaru, hingga sebagian di pulau Jawa, Kalimantan dan Irian Jaya. Para pengikut ajaran ini pada umumnya berkumpul di desa Hutatinggi sebagai pusat keagamaan, sedikitnya dua kali dalam setahun, pada waktu dimana upacara besar tahunan (perayaan Sipaha sada dan Sipaha lima) diselenggarakan.
Gondang: Kontekstualisasi Makna
Di masyarakat Batak Toba kata “gondang” pada dasarnya memiliki pengertian yang beragam (multifacet meaning), tergantung pada situasi serta konteks apa dan bagaimana kata tersebut digunakan. Berbeda halnya dengan pendapat kebanyakan masyarakat di luarnya, gondang pada umumnya dimengerti sebagai “(ensambel) musik tradisi” atau “gendang”nya orang Batak Toba. Bagi orang Batak Toba, kata gondang dapat memiliki makna diantaranya adalah: 1) perangkat alat musik; 2) ensambel musik; 2) reportoar musik; 3) satu komposisi lagu (musical peice); 4) tempo lagu; 5) suatu upacara; atau 6) menunjukkan satu segmen tertentu dari kelompok kekerabatan yang sedang manortor (tarian sosial) pada sebuah upacara (Lihat Harahap, 1991).
Gondang dalam pengertian perangkat alat musik misalnya dijumpai dalam penyebutan “gondang Batak;” gondang dalam konteks ini secara implisit mengandung makna sebagai “ensambel musik,” yakni spesifik untuk menyebut ensambel musik “Gondang Sabangunan,” atau juga dapat bermakna untuk menyebutkan set dari alat musik taganing, (set-gendang bernada/tuned drums) yang terdapat dalam ensambel Gondang Sabangunan. Penggunaan kata gondang dalam konteks penyebutan ensambel musik bisa ditemukan pada pengkategorian dua bentuk ensambel musik tradisi Batak Toba, yakni Gondang Sabangunan (Gondang Bolon) dan Gondang Hasapi; kata gondang pada konteks ke dua kata “sabangunan” dan “hasapi” bermakna “ensambel musik.”
Kata gondang dalam pengertian reportoar musik dapat dijumpai penggunaannya, misalnya adalah gondang Hatutubu/Pangharoanan, gondang Tangiang/Doa, gondang Elek-elek/Lae-lae, dan gondang Somba. Gondang Hatutubu terdiri dari rangkaian 12 lagu gondang yang berbeda; gondang Tangiang terdiri dari rangkaian 10 lagu gondang yang berbeda; gondang Elek-elek, terdiri dari beberapa lagu gondang (lagu gondang Elek-elek Somba tu Debata; Elek-elek dan lainnya); gondang Somba juga terdiri dari beberapa lagu gondang, umumnya terkait dengan figur dari supranatrural dalam mitologi batak Toba. Kata gondang dalam pengertian komposisi lagu (musical peice) menunjukkan bahwa makna kata yang mengikuti setelah kata gondang biasanya menunjukkan nama dari sebuah komposisi musik gondang, misalnya gondang Haro-haro, gondang Raja na Opatpuluh Opat; Gondang Sibunga Jambu, dan lainnya. Kata gondang juga dapat mengandung pengertian menunjukkan tempo sebuah lagu. Misalnya dalam susunan kata gondang Didang-didang atau gondang Elek-elek, kata “didang-didang” dan kata “elek-elek” menunjukkan karakteristik dari tempo gondang tertentu. Atau suatu upacara; atau menunjukkan satu segmen tertentu dari kelompok kekerabatan yang sedang manortor (tarian sosial) pada sebuah upacara.
Gondang dalam Konteks Ritual Parmalim
Bagi masyarakat Parmalim Batak Toba, gondang tidak semata-mata dimaknai hanya sebatas ungkapan ekspresif estetik-musikal tradisi Batak Toba, lebih dari itu gondang merupakan “representasi simbolik” dari ungkapan penyampaian doa (tonggo) yang ditujukan bagi Sang Pencipta serta berbagai kekuatan supranatural yang mereka yakini. Di dalam konteks peribadatan Parmalim, hubungan antara gondang (“musik”) dan tonggo (“doa pujian”) merupakan dua hal yang saling berkaitan (intertwine). Dapat dikatakan bahwa, jika tonggo berupa manifestasi pujian dalam bentuk verbal-tekstual, gondang berupa manifestasi pujian dalam bentuk simbolik bunyi (sounds symbolic). Ekspresi dari penyampaian tonggo dan gondang di masyarakat Parmalim semata-mata hanya dilakukan dalam konteks ritual keagamaan.
Salah satu contoh tonggo yang ada dapat dilihat dari bagaimana bentuk pujian yang disampaikan kepada Ompunta Raja Uti, salah satu figur supranatural yang terdapat dalam kepercayaan Parmalim Hutatinggi.

Mauliate ma hudok hami tu sahala ni Raja na marsangap raja namartua, Patuan raja Uti. Uti na so ra mate, uti na so ra matua, sijalo hoda sombaon sipangidoon gabe na niulia, sipangidohon anak na marsangap dohot boru na martua. Hamu do Raja nami Raja na jumolo tubu, bungka ni harajaon na guminjang sian ahu, na umbuntul sian dolok, paruhum na sintong na so jadi juaon. Uhum Mi do Patuan Raja Uti, tinindangkon ni amani Raja Nasiakbagi ido na huingot hami saluhut ginomgom ni tondi ni amani Raja Nasiakbagi umbahen marluhut hami di Bale Pasogit Partonggoan na on, nang dohot dongan nami na tinggal di huta nang dohot pangarantoan di luat na leban. Sada haroroan do hami manombahon pelean puji-pujian di ari marsangap di ari martua on di Suma ni Anggara di bulan Si Paha Sada, ima ari hatutubu ni Tuhan Simarimbulubosi. Di son ma parningotan nami raja nami nang dohot di ari hatutubu marhite lapik ni tangan mandok mauliate somba puji-pujian nami tu Ho, ima, indahan na las, dengke na nilaean, pira ni ambalungan, manuk jarum bosi, hambing puti, na hualu-aluhon hami marhite parhinaloan on. ...
Translasi:
Terima kasih kami ucapkan kepada sahala Raja kami yang sakti, Raja yang bertuah, Patuan Raja Uti. Raja yang tidak pernah mati dan tua, tempat meminta berkat agar panen berlimpah, tempat meminta berkat agar diberikan keturunan. Engkaulah Raja kami yang lebih dahulu lahir, yang membuka kerajaan yang lebih tinggi, yang melahirkan keadilan. Hukum Patuan Raja Uti ditegakkan oleh Bapak kami Raja Nasiakbagi, oleh sebab itulah kami seluruhnya yang bernaung di bawah jiwa Raja Nasiakbagi berkumpul di Bale Pasogit Partonggoan, ikut para kerabat kami yang tinggal di desa dan yang diperantauan. Satu tujuan kami mempersembahkan sajian puji-pujian di hari yang agung dan mulia di Suma dan Anggara pada bulan Si Paha Sada, itulah hari kelahiran Tuhan kami, Tuhan Simarimbulubosi. Itulah hari peringatan kami maupun hari kelahiranMu dengan tangan berlipat mengucapkan terima kasih mempersembahkan puji-pujian kami kepadaMu, yaitu nasi putih, ikan, telur ayam dan kambing putih yang kami persembahkan dengan iringan bunyi puji-pujian. ...
Bentuk tonggo lainnya adalah pujian yang disampaikan kepada Raja Sisingamangaraja dapat dilihat sebagai berikut,
Mauliate ma hudok nami to sahala ni Raja nami Sisingamangaraja, Singa na mangalompoi, Singa na so halompoan, sian Tano Bakkara, sian Bakkara julu, sian Bakkara jae, na mardindingkan dolok, marhori-horion ombun, parbale pandan parbale pasogit, bale paradatan, bale paruhuman, bale pamujion tu Ompunta Mulajadi Na Bolon, na manggontor tu ronggo tatarodo, hatian pamonaran, solup si opat bale, jual si onom solup, parmasan si sampula dua, ampang si duapuluh opat, jala hatian na so ra miling, tu ginjang na so ra miring, to toru so ra meleng. Ima patik harajaon jinalom Raja nami sian Ompunta Debata Mulajadi Na Bolon, na ni aturhonMu tu angka Raja Parbaringin, na marganuphon Bius, na marpusoran onan. Alai nunga suksang uhum harajaonMi Raja nami alai marsiulak do roha ni Ompung Mulajadi Na Bolon, dipangke ni tondiNa, ima Amanami Raja Nasiakbagi, Raja Tubu, Raja Sitao-tao, Patuan Raja Malim, parajar sioloan, parmeme sibondutan i. Uhum harajaon tinonahonMu dohot hamalimon ni Mulajadi Na Bolon na niugamahonNa, ima huingot hami ale Ompung di ari marsangap di ari martua on, di Suma ni Anggara di bulan Si Paha Sada ima Hatutubu ni Tuhanta, Tuhan Simarimbulubosi.

Translasi:
Terima kasih kami ucapkan kepada sahala Raja kami Sisingamangaraja, singa yang melampaui, singa yang tak terlampaui, dari tanah Bakkara, Bakkara utara dan di selatan, yang berdindingkan gunung, bertiraikan embun, yang memiliki balai pandan, balai pasogit, balai adat, balai hukum, balai persembahan kepada Tuhan Mulajadi Na bolon, yang penuh keadilan, permulaan ukuran ... ..., yang mempunyai hukum keadilan, ke atas tidak oleng,, ke bawah pun tidak oleng. Itulah hukum kerajaan yang Engkau terima dari Tuhan Mulajadi Na Bolon, yang Engkau haturkan kepada para raja-raja negeri (Parbaringin) di tiap Bius di semua penjuru kampung. Namun, hukum kerajaanMu itu telah porak poranda, namun karena kasih sayang Tuhan Mulajadi Na Bolon yang tak terbatas,, melalui roh suciNya, yaitu Bapak kami Raja Nasiakbagi, raja yang lahir, Raja yang maha mengetahui, Tuan Raja yang suci, pemberi ajaran yang harus dituruti, dan pemberi makanan kehidupan itu. Hukum kerajaan dan kuasa yang Engkau pesankan serta kesucian Mulajadi Na Bolon yang menjadi panutanNya dan sabdaNya, itulah yang kami ingat ya Tuhan pada hari yang mulia dan berbahagia ini, pada Suma dan Anggara bulan Si Paha Sada kelahiran Tuhan kita, Tuhan Simarimbulubosi.
Adapun figur-figur supranatural (supranatural deities) yang terdapat di dalam kepercayaan Parmalim Hutatinggi yang direpesentasikan lewat tonggo maupun gondang adalah Mulajadi Na Bolon, Debata Na Tolu (Batara Guru, Sori Sohaliapan, dan Bane Bulan), Si Boru Deak Parujar, Naga Padoha ni Aji, Si Boru Saneang Naga, Patuan Raja Uti, Si Marimbulubosi, Raja na Opatpuluh Opat, Si Singamangaraja, dan Raja Nasiakbagi. Masing-masing figur supranatural memiliki gondang yang sifatnya prerogatif. Kumpulan dari sepuluh gondang-gondang tersebut dikategorikan pada apa yang disebut dengan gondang tangiang (“doa”).

Di luar gondang tangiang, terdapat pula ritual gondang penting lainnya yang disebut dengan gondang pangharoanan. Gondang pangharoanan merupakan rangkaian gondang-gondang yang terdiri dari duabelas gondang yang berbeda. Ke-duabelas gondang ini terdiri dari: Gondang Inanta ni Tuhan Simarimbulubosi; Gondang Hatutubu ni Tuhan Simarimbulubosi; Gondang Pangharoanan ni Tuhan Simarimbulubosi; Gondang Didang-didang ni Tuhan Simarimbulubosi; Gondang Hapososon ni Tuhan Simarimbulubosi; Gondang Sabda/Ulaonna ni Tuhan Simarimbulubosi; Gondang Habengeton ni Tuhan Simarimbulubosi; Gondang Panghongkoppon Ni Tuhan Simarimbulubosi; Gondang Hasiakbagion ni Tuhan Simarimbulubosi; Gondang Hamonangan ni Tuhan Simarimbulubosi; Gondang Parolop-olopan ni Tuhan Simarimbulubosi; dan Gondang Hasahatan-Sitio-tio ni Tuhan Simarimbulubosi.
Ke dua belas gondang diatas pada dasarnya merupakan sebuah rangkaian kisah tentang kelahiran (hatutubu) Raja Simarimbulubosi , tokoh yang dianggap sebagai pembawa ajaran Parmalim. Adapun makna dari keduabelas gondang yang ada dapat dilihat berikut ini,
1) Gondang Inanta ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang pembuka dari duabelas gondang yang ada. Gondang ini ditujukan pada Ibunda yang melahirkan Simarimbulubosi serta mengisahkan tentang kemuliaan dari IbundaNya. Proses dari kelahiran Simarimbulubosi yang merupakan jelmaan dari Tuhan Debata Mulajadi Na Bolon melalui kuasa supranatural Debata Guru.
2) Gondang Hatutubu ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang yang dibunyikan sebagai ungkapan simbolis menandakan saat lahirnya Simarimbulubosi. Debata Mulajadi Na Bolon, dengan kasih sayangNya, mengutus Simarimbulubosi untuk menyampaikan ajaraNya demi keselamatan manusia.
3) Gondang Pangharoanan ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang yang dibunyikan untuk menyambut lahirnya Simarimbulubosi, sekaligus ungkapan rasa kegembiraan umat Parmalim dalam menyambut kelahiran TuhanNya ke muka bumi.
4) Gondang Didang-didang ni Simarimbulubosi, yakni gondang yang mengisahkan rasa kasih sayang Ibu terhadap anaknya Simarimbulubosi pada saat masih dalam usia bayi, dalam gendongan Ibundanya. Gondang ini juga merupakan ungkapan dari usia anak dari Simarimbulubosi yang selalu dilindungi oleh Debata Mulajadi Na Bolon.
5) Gondang Haposoon ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang yang mengisahkan masa di saat Simarimbulubosi beranjak remaja/dewasa dan mulai bekerja menyebarkan ajaran, titah, dan hukum Tuhan kepada manusia, yakni menyampaikan tentang ajaran Hamalimon. Gondang ini juga mengandung kisah bagimana Simarimbulubosi mendapat cobaan dalam mengajarkan dan menjalankan kepercayaanya, yakni berupa penghinaan dari orang-orang yang memang hidupnya telah lari dari ajaran Tuhan. Manifestasi dari sikap pemuda Marimbulubosi yang berhati dan berfikiran bersih dan suci (marroha hamalimon), berprilaku baik dan suci (marpangalaho hamalimon), dan memiliki jasmaniah dan rohaniah yang suci (mardaging dohot martondi hamalimon) digambarkan lewat bunyi gondang ini.
6) Gondang Sabda/Ulaonna ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang yang meriwayatkan dan menggambarkan saat-saat Simarimbulubosi dalam mengajarkan dan menunaikan tugas keagamaannya.
7) Gondang Habengeton Ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang yang menggambarkan penderitaan dari Simarimbulubosi dalam menunaikan tugasnya. Penderitaan yang tak pernah dibalaskannya terhadap orang yang tidak menyukainnya. Gondang ini menyiratkan tentang bagaimana ujian tentang kesabaran dari kehidupan yang dialami oleh Simarimbulubosi dalam mengajarkan perintah dari Mulajadi Nabolon.
8) Gondang Panghongkoppon Ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang yang menggambarkan bagaimana Simarimbulubosi tetap melindungi manusia, walaupun dengan berbagai rintangan dari orang-orang sekelilingnya. Kasih sayang yang tak terhingga (parholong roha, parroha simulak-ulak) dari Simarimbulubosi malah berbuah pengharapan kepada Mulajadi Na Bolon agar manusia tetap dijaga (dihopol) dan dipelihara untuk tidak terjerumus ke dalam dosa.
9) Gondang Hasiakbagion ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang yang menggambarkan bagaimana Simarimbulubosi menderita karena ingin memeperjuangkan umatnya. Ia berpesan agar umatnya merasakan kepantangan dan arti dari kepahitan hidup. Karena, kepahitan adalah jalan untuk menuju dan mencapai kemuliaan selama-lamanya.
10) Gondang Hamonangan ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang yang menggambarkan kegembiraan Simarimbulubosi pada saat menang melawan iblis (sibolis) sebagai kekuatan yang jahat. Setelah itu ia berangkat, kembali kepada Mulajadi Na bolon, Sang Pencipta yang menyuruh dan mengutusnya.
11) Gondang Parolop-olopan ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang yang menggambarkan kegembiraan setiap umat yang turut merasakan kepahitan Simarimbulubosi. Kepahitan adalah pedoman hidup di dalam firman Tuhan, hukum Tuhan di dalam hamalimon.
12) Gondang Hasahatan-Sitio-tio ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang yang terakhir sebagai penutup. Gondang ini menggambarkan kemenangan iman dari umat Parmalim dan pengharapan pada Mulajadi Na Bolon atas berkat yang terus-menerus dariNya serta rezeki yang akan kehidupan yang berkecupan.
Di luar kedua bentuk repertoir gondang seperti tersebut diatas, terdapat pula gondang-gondang lainnya yang penggunaannya tidak terikat pada rangkaian gondang tangiang maupun gondang pangharoanan, misalnya gondang Malim; gondang Siopat Pusoran; gondang Elek-elek (dengan beberapa varian komposisi musik yang berbeda), dan lainnya.
Meskipun hubungan tonggo-tonggo dan gondang kelihatannya merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan, namun bagi masyarakat Batak Toba pengikut Parmalim kedudukan gondang dalam ekspresi spiritual mereka mendapat tempat yang sangat tinggi. Hal ini terungkap dalam filosofi dari ajaran yang mereka anut yang mengatakan bahwa “gondang merupakan jalan untuk menghubungkan antara manusia dan Penciptanya” (wawancara dengan alm. Osner Gutom, Juli 2002). Representasi tonggo-tonggo dan gondang dalam tradisi kepercayaan Parmalim umumnya dihadirkan dalam dua bentuk ritual kolektif keagamaan yang mereka lakukan, yakni pada perayaan Hatutubu Tuhan Simarimbulubosi Sipaha Sada, umumnya dilaksanakan pada bulan Maret setiap tahunnya; dan perayaan Pameleon Bolon Sipaha Lima yang dilaksanakan sekitar bulan Juli dalam setiap tahunnya.
Aspek Performatif:
Ensambel Musik, Repertoir Musik dan Praktik Ritual-Musikal
Terdapat dua jenis ensambel musik utama di dalam tradisi ritual Parmalim Hutatinggi, yaitu: gondang hasapi dan gondang sabangunan. Ensamble gondang hasapi digunakan pada saat upacara Hatutubu Tuhan Simarimbulubosi Sipaha Sada, sedangkan gondang sabangunan digunakan pada perayaan Pameleon Bolon Sipaha Lima.
Ensambel musik gondang hasapi terdiri dari: sarune etek (klarinet kecil); hasapi ende dan hasapi doal (jenis alat petik dua senar); garantung (ksilofon bilah lima); dan hesek (alat perkusi metal, botol). Peangkat alat musik yang terdapat pada ensambel gondang sabangunan terdiri dari: sarune bolon (oboe); taganing (lima buah gendang rak bernada); gordang bolon (bas drum); odap (gendang kecil muka dua); ogung (set gong terdiri dari empat buah: oloan-ihutan, panggora dan doal); dan hesek (alat perkusi metal, botol). Pada umumnya, berbagai jenis repertoir lagu gondang yang ada dapat dimainkan pada kedua ensambel musik (shared reportoires).
Even ritual Sipaha Sada merupakan peringatan hari lahir utusan Tuhan Mulajadi Na Bolon, yakni Raja Si Marimbulubosi (Raja yang Penuh Penderitaan), sekaligus menjadi simbol kemenangan bagi warga Parmalim dalam meraih keimanan. Perayaan biasanya dilaksanakan di dalam bale partonggoan, rumah peribadatan Parmalim di desa Hutatinggi. Upacara dilangsungkan selama dua hari, diawali dengan ritual puasa pada hari pertama (mangan napaet), diikuti dengan ritual bersama pada hari kedua.
Even ritual Sipaha Lima merupakan upacara persembahan besar (pameleon bolon), di mana seluruh warga Parmalim Nasiak bagi dari berbagai penjuru tempat berkumpul di desa Hutatinggi sekali dalam setahunnya. Perayaan dilaksanakan di lapangan terbuka, tepat di halaman depan bale partonggoan di desa Hutatinggi. Upacara dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut. Hari pertama (suma) berupa ritual parsahadatan (mohon pengampunan dosa). Pada hari ini warga Parmalim melaksanakan ritual “memohon pengampunan dosa” dari Debata Mulajadi Na Bolon, sekaligus memohon agar pelaksanaan ritual Pameleon Bolon yang akan diselenggarakan esok harinya mendapat berkat dariNya. Hari kedua merupakan inti dari ritual persembahan pameleon bolon, dimana hewan kurban disembelih diiringi dengan tarian ritual (tortor). Hari ketiga merupakan ritual penutup (manatti), dilaksanakan di dalam bale partonggoan.
Disamping ke dua jenis upacara ritual komunal—Sipaha Sada dan Sipaha Lima—masyarakat Parmalim Hutatinggi juga memiliki beberapa ritual penting lainnya. Salah satu bentuk ritual yang juga sering diiringi dengan permainan ensambel musik, apakah dengan iringan ensambel gondang hasapi atau gondang sabangunan, adalah mardebata. Upacara mardebata dilakukan pada umumnya sebagai sarana ritual pembersihan diri dari kesalahan yang telah dilakukan maupun usaha untuk mendapatkan perolehan berkat dari Yang Maha Kuasa, umumnya lebih pada kebutuhan yang sifatnya personal (private ritual).
Terdapat beberapa reportoir gondang yang inti di dalam ritual peribadatan Parmalim Hutatinggi. Dari keseluruhan repertoir gondang yang ada dapat dikelompokkan pada: gondang Alu-alu; gondang Tangiang (Doa); gondang Hatutubu/Pangharoanan; gondang Somba; gondang Pujian Tu Sahala; dan gondang Hasahatan Gondang Alu-alu merupakan rangkaian 3 buah gondang, yang dimainkan khusus dalam konteks penyampaian doa kepada Debata Mulajadi Na Bolon, Raja Na Opatpuluh Opat dan Raja Nasiak Bagi. Gondang Tangiang (Doa) merupakan rangkaian 10 komposisi gondang persembahan ditujukan untuk Debata Mulajadi Na bolon dan kekuatan supranatural lainnya. Gondang Hatutubu/Pangharoanan merupakan rangkaian 12 komposisi gondang untuk memperingati hari lahirnya Raja Si Marimbulubosi, utusan Debata Mulajadi Na Bolon yang membawa ajaran Parmalim ke tengah orang Batak.
Pada permainan ensambel gondang sabangunan, gondang alu-alu (lit.: “pemberitahuan’), hanya dimainkan oleh alat musik taganing. Secara kompositoris, ketiga gondang memiliki persamaan pola melodis. Sedangkan pada esambel gondang hasapi repertoair gondang dimainkan oleh seluruh alat musik. Gondang alu-alu pada umumnya dimainkan sebagai pembuka (opening ritual ceremony). Dalam konteks pertunjukan ritual Parmalim, gondang alu-alu hanya spesifik diminta dan diperuntukkan bagi Debata Mulajadi Na Bolon, Raja Na Opatpuluh Opat, dan Raja Nasiak Bagi.
Repertoir gondang tangiang terdiri dari 10 komposisi gondang dimana masing-masing gondang memiliki komposisi lagunya tersendiri. Kekecualian terjadi untuk gondang Raja Simarimbulubosi—dengan komposisi gondang yang sama—juga disebut dengan gondang Haposoon Ni Tuhan Si Marimbulubosi. Demikian pula dengan komposisi gondang Siboru Deak Parujar, dalam konteks tertentu juga disebut dengan gondang Pangharoanan.
Repertoir gondang Hatutubu/Pangharoanan terdiri dari 12 gondang yang masing-masing berbeda antara satu dan lainnya. Pada perayaan upacara Hatutubu Sipaha Sada, ke duabelas gondang yang ada biasanya dimainkan secara berurutan (fixed repertoire), terutama pada bagian awal pembuka kegiatan ritual, dimana raja ihutan (pimpinan upacara) memulai acara kegiatan ritual dimaksud. Namun, pereduksian jumlah gondang dalam repertoir dapat saja terjadi ketika aktifitas ritual beralih kepada kelompok punguan.
Hal yang juga menjadi penting dalam hal aspek performatif ritual untuk dilihat adalah permintaan tonggo dan permainan gondang untuk rangkaian gondang dalam repertoir gondang tangiang dan repertoir gondang hasahatan. Jika dalam pelaksanaan permintaan tonggo dan permainan gondang pada gondang tangiang diawali oleh gondang Mulajadi Na Bolon (pertama) hingga gondang Raja Nasiak Bagi (kesepuluh) dan ditutup dengan gondang Hasahatan-Sitiotio; permainan gondang pada reperoir gondang Hasahatan (penutup) diawali dengan gondang Raja Nasiak Bagi dan diakhiri dengan gondang Mulajadi Nabolon, kemudian ditutup oleh gondang Hasahatan/Sitiotio.
Meskipun ensambel gondang hasapi dan gondang sabangunan pada dasarnya berbagi reportoir gondang yang sama, pada praktiknya ke dua jenis ensambel musik ini tidak pernah dimainkan dalam upacara ritual yang sama. Masing-masing ensambel musik pada dasarnya dimainkan secara terpisah.
Satu bentuk kaidah etik musikal yang terdapat di dalam kebudayaan musik tradisional masyarakat Batak Toba, dimana dikatakan bahwa di dalam mengakhiri sebuah gondang “harus diselesaikan” dengan memainkan bagian awal motif atau frase dari gondang. Hampir dapat dikatakan, etika penyelesaian permainan gondang seperti ini sudah amat jarang dijumpai di berbagai konteks permainan gondang yang ada; hal yang menarik justru aturan seperti ini masih kita dapatkan dalam permainan ensambel musik yang terdapat di masyarakat Parmalim Batak Toba.
Batas tipis antara nada-nada pasti (fixed melodic) dan nada-nada ornamentasi/variasi (ornamental melodic) di dalam permainan musik gondang, khususnya dalam tradisi musik Parmalim, juga menjadi satu hal yang sangat penting didiskusikan. Gondang tidak semata dimaknai sekedar sebagai ungkapan estetik musikal, lebih dari itu, gondang dianggap sebagai manifestasi “bunyi” dari “kata-kata (doa pujian).” Pandangan ini tampaknya terkait dengan satu pandangan filosofis tradisional Batak Toba, terutama dalam konsepsi bunyi alat musik pada ensambel gondang Sabangunan, yang berbunyi, “sarune marhata-hata, taganing marungut-ungut, ogung marhuolon” (lit.: sarune “berkata-kata,” taganing “bersungut-sungut,” ogung “bergema”). Ke tiga ungkapan makna bunyi metaforis ini pada dasarnya mengacu pada pandangan yang menganggap bahwa, “bunyi” sarune merupakan “media kata-kata” yang menjadi hal yang utama; metafor bunyi dari taganing “bersungut-sungut” menjelaskan sebuah persepsi musikal yang menganggap bahwa taganing dapat “mengikuti atau berjalan bersama “kata-kata” sarune; dan bunyi ogung yang “bergema” merupakan metafor dari harmoni bunyi yang mengambarkan “ruang suara” yang memenuhi diantara bangunan “kata-kata” itu.
Pandangan filosofi seperti ini kemudian tertuang di dalam etika permainan, khususnya di dalam ensambel gondang Sabangunan, dimana dalam memainkan gondang-gondang tertentu, hanya sarune bolon yang hanya berperan memainkan melodi; sedangkan taganing, yang semestinya juga dapat bermain secara paralel mengikuti melodi sarune bolon, hanya memainkan pola-pola ritem dasar memberikan aksentuasi-aksentuasi ritmis diantara garis melodi yang dibentuk oleh permainan sarune bolon. Istilah untuk menunjukkan peran permainan taganing seperti ini disebut mangodap-odapi. Etika permainan seperti ini sudah sangat jarang ditemukan lagi. Kalau pun ada umumnya pola permainan mangodap-odapi dilakukan pada alat yang sama, yakni taganing atau kadangkala pada gordang bolon. Permainan mangodap-odapi yang dilakukan pada alat odap masih ditemukan pada komunitas musik ritual Parmalim Hutatinggi.
Penutup
Peradaban sebuah masyarakat dapat diproyeksikan melalui sebuah kesadaran akan sejauhmana masyarakat tersebut mampu mengenal, memahami, memaknai akar dan perjalanan sejarah yang pernah terjadi di dalam kehidupannya. Begitu pula dengan peradaban musik sebagai bagian dari wujud dari membangun kebanggaan etnis (ethnic pride). Perayaan 100 tahun akan tokoh besar Raja Si Singamangaraja XII, sebagai ikon sejarah khususnya bagi masyarakat batak Toba, esok akan terlupakan, jika itu hanya menjadi sebuah seremonialitas. Tidak demikian halnya bagi warga Parmalim Hutatinggi. Nilai-nilai spiritualitas, sosial dan kebudayaan Batak yang diamanatkan (poda) oleh Raja Si Singamangaraja tetap dipelihara dan dijaga, tidak hanya melalui ritus keagamaan yang personal-komunal, akan tetapi melalui ritus sosial keseharian mereka. Peradaban musik gondang, yang menjadi ciri otentik dari identitas “Kebatakan” tetap terpelihara, bukan hanya untuk sebuah alasan sosial, terlebih lagi untuk sebuah alasan spiritual.
“Batak” dan “Kebatakan” adalah sebuah tafsir jamak, yang kejamakannya akan memberi warna atas kekayaan peradaban Batak itu sendiri. Peradaban musik ritual Parmalim Hutatinggi hanya satu sisi dari kekayaan peradaban ekspresif musikal, tidak hanya bagi kebanggaan manusia Batak (Kebatakan?), tetapi juga bagi kebanggaan ilmu pengetahuan dan peradaban Batak itu sendiri.


Daftar Pustaka
Aritonang, G dan Irwansyah Harahap. 1991. “Transkripsi Teks Upacara Gondang Saem.” Manuskrip. Medan: Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
Gultom, N. R. 1990. “Suatu Studi Deskriptif dan Musikologis Upacara Gondang Saem di Desa Paraduan.” Skripsi Sarjana tidak diterbitkan. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Harahap, Irwansyah 1991. “Studi Komparatif Bentuk dan Penggarapan Sebuah Komposisi Gondang oleh Tujuh Partaganing.” Fakultas Sastra USU Medan. (Skripsi Sarjana S1. tidak diterbitkan.)
-----, 1995. Taganing, Toba Bataks Drumchimes of North Sumatra: Discussion on the Musical Aspects. University of Washington Seattle USA. (Makalah tidak dipublikasi untuk Program Master)
-----, 2000. Rasionalisasi Religius dalam Diskursus Keagamaan di Indonesia: Kasus Parmalim Batak Toba. Jurnal Antropologi Indonesia tahun XXIV, No.61 Jan-Apr 2000.
Helbig, K. 1935. ‘Der Singa Mangaraja und die Sekte der Parmalims bei der Batak.’ Zeitschrift fur Ethnologie 67:88-104. (Terjemahan bahasa Indonesia oleh Pastor Johann).
Hiroshue, M. 1988. Prophets and Followers in Batak Millenarian Responses to the Colonial Order: Parmalim, Nasiak Bagi, and Parhudamdam, 1890-1930. Tesis Ph.D tidak dipublikasikan. Canberra: The Australian National University.
Hutajulu, Rithaony, 1994. Stylistic History of Opera Batak Music: Presenting Toba Batak Musical Identity. University of Washington, Seattle USA. (Makalah tidak dipublikasi untuk Program Master)
Kottak, C.P. 1991. Cultural Anthropology. New York: McGraw-Hill, Inc.
Myers, Helen (ed) 1992. Ethnomusicology: An Introduction. New York-London: W.W. Norton & Company.
Naipospos R.M. 1987. “Pedoman Dasar dan Pedoman Pelaksanaan: Kelompok Warga Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa ‘Ugamo Malim’ (Parmalim).” Hutatinggi-Laguboti-Tapanuli Utara.
Okazaki, Yoshiko 1994. Music, Identity, and Religious Change among The Toba Batak of North Sumatera. disertasi Ph .D. University of California, Los Angeles.
Pasaribu, Ben M 1986. “Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan.” Fakultas Sastra USU Medan. (Skripsi Sarjana S1. tidak diterbitkan)
Pelly, U. 1986/87. “Hasil Penelitian Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Provinsi Sumatera Utara.” Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pardede, Parulian Boho 1995. “Studi Deskriptif dan Musikologis Gondang Sabangunan dalam Upacara Ritual Parmalim Sipaha Lima.” Fakultas Sastra USU Medan. (Skripsi Sarjana S1. tidak diterbitkan.)
Purba, B. 1986. Sistem Pukat dalam Mengembangkan Zending Kristen di Daerah Batak Toba. Skripsi Sarjana tidak diterbitkan. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Simangunsong, Emmi 1988. “Fungsi Musik Gondang Sabangunan dalam Upacara
Ritual Parmalim Si Paha Sada di Desa Lumban Gambiri Kecamatan Silaen.” Fakultas Sastra USU Medan. (Skripsi Sarjana S1. tidak diterbitkan.)
Sidjabat, W. 1983. Ahu Si Singamangaraja. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Silaen OP. Timbul (tanpa tahun). “Pustaha Agama Malim.” Buku pedoman tanpa penerbit.

Paper ini merupakan ringkasan dari sebuah tulisan hasil penelitian yang telah saya kerjakan mengenai komunitas Parmalim yang berpusat di desa Hutainggi kecamatan Laguboti kabupaten Tobasa. Keterlibatan saya dengan warga masyarakat Parmalim Hutatinggi diawali pada tahun 1989, pada waktu itu saya terlibat menjadi seorang mahasiswa di jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU Medan yang sedang membantu program riset lapangan mengenai kebudayaan musik tradisi Batak Toba. Sejak tahun 2002 hingga tahun 2006, saya, dibantu oleh Dra. Rithaony Hutajulu, M.A. telah melakukan penelitian yang lebih intensif mengenai komunitas Parmalim Hutatinggi dengan fokus kajian pada melihat hubungan antara gondang (musik) dan fenomena ritual yang terdapat di tengah masyarakat Parmalim Hutatinggi. Periode riset intensif ini telah didanai oleh Toyota Foundation, Jepang.
[2] Pengertian komunitas yang penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah sekumpulan masyarakat yang memiliki ikatan spiritual yang kuat, rasa solidaritas sosial, keseimbangan dan kebersamaan yang tinggi. (Lihat, Kottak 1991:243).
Peristilahan kata gondang dalam artian sebagai ensambel musik juga dijumpai pada kebudayaan musik masyarakat etnik lainnya di Sumatera Utara, meski terdapat sedikit perbedaan dalam dalam fitur bahasa. Di masyarakat Karo digunakan kata gendang, di masyarakat Mandailing disebut gondang dan gordang, di masyarakat Simalungun disebut gonrang, dan di Pakpak (Dairi) disebut dengan genderang. Disamping untuk menyebutkan ensambel musik, kata “gondang, gendang, gondang/gordang, gonrang” dan “genderang” secara implisit juga digunakan di masing-masing tradisi yang ada untuk menyebut khusus perangkat gendang/drum yang ada di masing-masing ensambel. Di dalam bahasa Indonesia, yang saat ini telah menjadi bahasa resmi negara Indonesia, penggunaan kata gendang—yang diadopsi dari peristilahan kata dari bahasa Melayu—juga memiliki pengetian yang sama.
Warneck (2001) dalam “Kamus Batak Toba Indonesia” menyebutkan beberapa pengertian dari penggunaan kata gondang; diantaranya “margondang=bergendang, berpesta; manggondangi=merayakan perhelatan dengan gendang; pargondangan=tempat bergendang; sagondang-manuk=pesta gendang menghormati nenek moyang dari empat generasi” (hal. 106-107). J.C Vergouwen (1962) menyebutkan kata gondang yang dipakai dalam konteks istilah “sapargondangan;” dalam konteks ini memiliki pengertian “orang yang berasal dari satu keturunan (saompu). (Vergouwen 1962, dalam Harahap 1994.)
Hal yang cukup kontras untuk membedakan praktik serta penggunaan musik gondang di antara warga Parmalim Batak Toba dengan kebanyakan warga Batak Toba lainnya--terutama yang telah berafiliasi kepada agama Kristen Protestan, Katolik, maupun Islam--adalah warga Parmalim menempatkan gondang sebagai bagian yang esensial dari ungkapan spiritualitas-kepercayaan, bagi warga Batak Toba diluar ajaran Parmalim praktik gondang digunakan hanya sebatas ritual adat. Pada umumnya berbagai reportoar atau pun lagu-lagu gondang yang berkonotasi pada “ajaran kepercayaan tradisional” dengan stigmatisasi “sipelebegu/penyembah hantu?” nyaris ditiadakan. Hal ini sering terjadi di berbagai konteks perayaan ataupun seremonial publik yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba non-Parmalim. Namun demikian, praktik gondang dalam konteks ritual tradisional yang pelaksanaannya lebih bersifat pribadi (private ritual)—seperti misalnya ritual penyembuhan (gondang Saem) dan ritual “memanggil ruh” leluhur marga (manjou sahala)--relatif sering dilakukan oleh warga Batak Toba non-Parmalim. Khususnya dalam diskursus etik sosial keagamaan yang berkembang di masyarakat batak Toba Kristen, fenomena ritual semacam ini masih terus menjadi perdebatan, terutama dalam hal sanksi terhadap pelaksanaannya hingga saat ini.
Menurut Hamonangan Naipospos, seorang warga Parmalim Hutatinggi, bentuk susunan dan ucapan tonggo-tonggo yang terdapat pada ritual Parmalim terbagi atas dua bagian, yakni: 1) yang memiliki struktur teks yang fix (baku);dan 2) yang memiliki struktur teks tidak baku, tergantung konteks maupun momentum dimana tonggo dibacakan (wawancara penulis, Maret 2005).
Dari pengalaman meneliti fenomena musik gondang dimasyarakat Batak Toba sejak tahun 1996 hingga saat ini, repertoir gondang Pangharoanan merupakan rangkaian komposisi gondang yang cukup unik dimiliki oleh komunitas parmalim Hutatinggi. Saya ingin mengatakan bahwa repertoir gondang Pangharoanan merupakan komposisi khusus (prerogative compositions) yang hanya dimiliki oleh Parmalim Hutatinggi. Demikian pula dengan beberapa gondang-gondang khusus lainnya, misalnya untuk jenis gondang tergolong elek-elek (“permohonan/pengharapan”). Berbeda halnya dengan komposisi-komposisi gondang yang lebih umum--misalnya gondang Malim, gondang Raja Na-44 (diluar tradisi Parmalim sering disebut dengan gondang Debataguru, dan gondang Saneang Naga Laut—komposisi gondang tersebut dapat ditemukan di beberapa wilayah budaya tradisi musik Batak Toba lainnya (shared repertoire).
Dewasa ini pengunaan kedua jenis ensambel musik, terutama jenis ensambel gondang hasapi, amat jarang ditemukan lagi di masyarakat Batak Toba. Tidak layaknya dengan ensambel gondang sabangunan, jenis ensambel ini relatif sering digunakan, meski sebatas sebagai mengiringi perayaan sosial, seperti perkawinan, peresmian gedung baru, dan lain sebagainya. Secara tradisional, perbedaan penggunaan kedua ensambel umumnya dapat ditandai dari melihat besar kecilnya tempat ataupun ruang dari pelaksanaan dimana sebuah upacara dilakukan. Ensambel gondang hasapi biasanya digunakan pada upacara-upacara yang diadakan di dalam rumah (indoor music ensamble); sedangkan ensambel gondang sabangunan biasanya digunakan di luar rumah, seperti di halaman (outdoor music ensemble).
Odap merupakan gendang yang sangat khusus penggunaannya di masyarakat tradisional Batak Toba. Menurut keterangan beberapa orang pemusik taganing (partaganing) yang pernah saya wawancarai menjelaskan bahwa odap hanya dimainkan untuk kepentingan ritual-spiritual; ia tidak dimainkan ketika mengiringi gondang-gondang adat (seremonial sosial) (Lihat juga Hutasuhut 1991). Keterangan ini tampaknya sangat relevan, yang mana penggunaan dari odap hampir dapat dikatakan sangat langka dapat ditemukan di berbagai pertunjukan ensambel gondang Sabangunan saat ini, tidak demikian halnya dalam ritual Parmalim, odap menjadi bagian alat musik yang utama.
Pada ritual Parmalim Hutatinggi, gondang Somba; gondang Pujian Tu Sahala; dan gondang Hasahatan pada dasarnya sama dengan repertoir 10-gondang tangiang, perbedaan terjadi pada konteks tonggo yang disampaikan.
Masing-masing gondang memiliki komposisi lagunya tersendiri, kecuali gondang Raja Simarimbulubosi—dengan komposisi gondang yang sama—juga disebut dengan gondang Haposoon Ni Tuhan Si Marimbulubosi. Dalam konteks tertentu, komposisi gondang Siboru Deak Parujar juga disebut dengan gondang Pangharoanan.

Etika dari permainan musik gondang semacam ini dilandasi oleh sebuah filosofi tradisional masyarakat Batak Toba yang mengatakan bahwa “segala sesuatu bermula dan berakhir dari Mulajadi (“Sang Pencipta”), begitu juga ketika memainkan musik gondang. Dalam konteks praktik kehidupan sosial masyarakat Batak Toba, filosofi semacam ini juga termanifestasi, misalnya di dalam pekerjaan sehari-hari. Seseorang yang sedang mengerjakan sesuatu, selalu meninggalkan satu bagian dari apa yang telah dikerjakannya, sebagai “tanda” untuk memulainya pada perkerjaan berikutnya (Lihat Hutasuhut 1991). Filosofi semacam ini sudah sangat jarang ditemukan lagi dalam berbagai praktik musik gondang, terutama yang dilaksanakan di luar konteks ritual-spiritual.


Read More..