Jumat, 05 September 2008

Catatan Dari Sitor Situmorang

kepada panitia peringatan 100 th gugurnya rsmxii

e-mail :

susulan catatan dari sitor situmorang

tema:seminar.

Catatan :sekitar tema seminar hal peranan sejarah rsmxii

sebagai sumbangan bahan.

Bersama ini beberapa catatan sekitar arti perjuangan Raja Sisingamangaraja XII dalam konteks nasional:

saya terlebih dahulu mengutip pendapat Lance Castle tentang kedudukan Raja Sisingamangaraja XII dan dinasti sisingamangaraja dalam sejarah (batak): bahwa dengan munculnya tokoh Patuan Bosar gelar Ompu Pulo Batu, sebagai Raja terakhir dan yang ke-12, barulah semakin jelas arti konseptualnya faham Kerajaan dan Raja (bergelar SiSingamangaraja) untuk penulisan sejarah Batak. Pendapat L.C. demikian itu membantu kelanjutan tugas penelitian sejarah, khususnya sejarah perkembangan budaya dan sosial Batak (khususnya Batak_Toba), baik dalam konteks berbagai tahapan waktunya (periodisasi) dan konteks lalulintas pengaruh-mempengaruhi yang terjadi baik secara “lokal”,maupun secara “antar-pulau” (ruang nusantara) nusantara, dan antar benua (gelombang-gelombang migrasi ).

Sebagai proses sejarah organisasi politik masayarakat Batak dalam bentuk munculnya dinasti SiSingamangaraja/Bakkara sebagai tahap kecenderungan ber”negara”, berkembang/dikembangkan sebagai sebuah Kerajaan, dikepalai oleh seorang Raja, maka konteks zaman munculnya kecenderungan tsbsecara lokal (Tanah_Batak (kira-kira ) meliputi masa evolusi sistem pemerintahan, dari orgnisasi bercorak “tribal (organisasi bermarga-marga/organisasi masyarakat khas berdasar sistem klan).

Tahap proses demikian itu perlu diamati dalam konteks zamannnya, dalam konteks sejarah Sumatra/Nusantara, khususnya konteks bagian utara Sumatra. Untuk mencatat faktor-faktor politik apa yang dari sekitarnya yang mempengaruhi proses tersebut, misalnya kehadiran Kesultanan-Aceh sebagai teladan yang paling dekat, secara geografi, dan merupakan titik orientasi untuk Tanah Batak diselatannnya, di zaman “lahir”nya dinasti Si Singamngaraja, yang kita perkirakan bermula sekitar paling lambat akhir abad ke-18 Raja Sisingamangaraja XII sebagai Raja generasi ke-12 dalam dinastinya, dalam catatan sejarah terkait dengan kemunculannnya sebagai Raja, pada usia muda, sekitar umur 15 tahun, setelah ayahnya (Raja Sisingamangaraja XI) wafat kira-kira 18 70, sedang ia di tahun 1878, menghadapi ujian sebagai Raja untuk memimpin pasukan Batak menghadapi sebuah pasukan penjajah Belanda, yang bergerak dari pangkalan

dipantai Teluk Tapiannauli (Siboga), untuk menduduki Lembah Silindung di pedalaman, salah satu wilyah terpenting dari 5 “luat/luhak” terpenting (1. Lembah Silindung, 2.Toba-Holnung, 3Pulau Samosir, 4.Humbang (dataran tinggi barat Danau Toba), 5.Dairi Pakpak).

Peretempuran Bahal Batu.

Dalam usia mudanya itu sebagai Raja Raja Sisingamangaraja ke-12 , terpanggil menggerakkan pasukan rakyat sebagai pengalaman pertama sebagai Raja.

Pasukan Batak menghadapi militer musuh bersenjata api modern Belanda berhasil menduduki Bahal Batu. Pangkalannya di Silindung itulah yang seterusnya digunakan untuk melaksanakan perluasan wilayah kekuasaan kolonialnya dan akhir berhasil merebut seluruh Tanah Batak secara bertahap, melakukan aksi militernya sambung-menyambung;tahun 1882/1883 Belanda maju menguasai wilayah pertanian terluas di selatan Danau Toba (wilayah Toba Holbung); dalam proses tsb benteng kedudukan SiSingamngaraja di lembah bakara diserbu dan dibumi hanguskan dalam serangan berkali-kali, di saat Raja Sisingamangaraja XII sedang terlibat memimpin pertempuran sekitar Balige-Laguboti di Toba Holbung, sebuah pertempuran di medan perang terbuka (persawahan luas), dengan ribuan pasukan sukarelawan yang bersemangat memenuhi seruan rsmxi menghadapi musuh, tapi tak memiliki senjata api, apalagi jenis modern.

Mengahadapi situasi itu stafnya menyarankan agar tukar cara berperang, yaitu beralih dari dan mengelakkan pertempuran di medan terbuka, lalu mundur pindah ke medan yang sesuai dengan “strategi gerilya”. Keputusan diterima, dan wilayah “medan perang gerilya” yang baik, ialah agar mundur pindah ke dataran tinggi pegunungan sebelah barat Danau Toba,yang membentang luas sampai pantai barat laut , dan langsung berbatasan dengan wilalayah Singkil (Simpang Kiri,Simpang Kanan), Alas, Gayo dan Aceh Selatan.

Pilihan itu mengungkapkan kenyataan yang lebih luas lagi; 1.Kenyataan bahwa akan terjalin koordinasi antara perang rakyat yang sejak serangan Belanda ibu kota Kesultanan Aceh di tahun l872, menghadapi serangan Belanda dengan cara gerilya yang bangkit di segala penjuru pegunungan dan pedalaman serta wilayah pesisir Aceh.

Keputusan dilaksanakan, didasari kesadaran yang sebelumnya sudah tumbuh berkembang

dalam kepemimpinan rsmxii sendiri. Kesadaran di Tanah Batak, yang berorientasi ke Samudra India (dan pesisir sejak dulu-dulunya) dan ke Aceh, membuahkan bangkitnya perasaan senasib, menghadapi musuh yang sama, dan panggilan untuk menggalang kesatuan langkah dan setiakawan menyambut masa depan bersama sebagai bangsa berjiwa merdeka.

Inilah tahapan pendahulu dari kerjasama seterusnya antara Raja Sisingamangaraja XII dengan perjuangan rakyat Aceh sebagai terungkap dalam kenyataan, bahwa sejak pertempuran di Balige

-Laguboti, dalam staf Raja Sisingamangaraja XII, sejumlah pejuang Aceh, ahli perang gerilya, yang sengaja datang bergabung sebagai penasehat, dan dalam peperangan selama period l883 –sampai tahun l907 Tercatat sejumlah nama pejuang Aceh yang gugur bersama Raja Sisingamangaraja XII di pertempurannya terakhir.

Demikianlah sekadar catatan tambahan untuk menyoroti dinamika sejarah politik dan setiakawan membela kemerdekaan bersemangat Nusantara.

__________

Catatan/penjelasan istilah “tribal” saya gunakan untuk mengemukakan sistem ber-marga-marga yang sebelum timbul wawasan Kerajaan dan ber-Raja (state-tendency) , masyarakat Batak lama , berkembang membentuk yang dinamakan Bius sebuah organisasi masyarakat khas, yang timbul dari kegiatan pertanian bersawah sebagai perekonomian utamanya; Bius menyerupai sebuah “negara mini” .


Tanah Batak lama (sebelum zaman Kerajaan SiSingamngaraja ) terbentuk secara keseluruhan

terdiri dari sejumlah 140 Bius, yang masing-masing berotonomi sebagai republik-republik kecil.Tiap “republik”(bius) tersebut, dibawah pemerintahan sebuah dewan Bius; anggota dewan bius tsb merupakan penyelenggara tatatertib hukum-,mengenai hukum pertanahan , kewargaan, permukiman, kepemilikan tanah, tataruang desa permukiman (huta), keamanan dsb. Dewan Bius beranggotaan wakil/utusan setiap marga keturunan diakui sebagai cikal akal /pendiri Bius dalam sejarah Bius tsb.yang jumlahnya sekitar ratarata 5 marga.

Keputusan penting-penting diambil dalam musyawarah dewan lengkap, dimana salah satu anggota “yang dituakan” bertindak sebagai Ketua dengan status seorang ”primus inter pares”(sebagai orang dihormati namun sederajat dengan anggota lainnnya, sesuai semangat dari praktek masyarakat yang tak mengenal penggolongan kaku seperti dalam sistem feodal.

Pengamatan peneliti seperti Lance Castel mencirikan sebagai masyarakat yang asing dari feodalisme dalam pergaulan , dan telah mengembangkan sistem perekonomian pertanian yang oleh pengamat diperkirakan mestinya mampu menghidupi sebuah “negara”, yang segera disusul dengan kesimpulan bahwa (masyarakat Batak)(dengan sistem Biusnya), tidak /belum memerlukan organisasi negara agaknya, artinya:sistem Bius (yang bentuk luasannya dan irigasinya umumnya sesuai dan sepadan dengan sebuah lembah kecil (katakanlah seluas 3x5 km ratarata.)

Namun dinamika perkembangan Bius-Bius itu sendiri , melawati perbatasannya masing-masing terbuka untuk lalulitas se Nusantara ,bahkan akhirnya untuk masuknya Agama –Agama (Islam di daerah pesisirnya, sejenak abad-abad sekitar ke-13, disusul masuknya Missi Kristen di bagian kedua abad ke-l9, menjelang perembesan ekspansi kolonialisme dari pantai barat sejak l878.

Tantangan dan Jawaban

Mengutip rumus Toynbee hal proses sejarah yang tersimpul dalam katakata “Tantangan dan Jawaban”, proses berlanjut antara perembesan pendatang asing dan situasi masyarakat Tanah Batak, menghadapkan rsmxii, secara pribadi maupun sebagai perlambang dan pemersatu dalam bentuk state-tendency, di hadapkan dan sadar kemudian menghadapi Tantangan yang harus diberi Jawaban olehnya .

Sebagai Raja terakhir ia memberi Jawaban semampunya mewujudkan kepemimpinan atas semangat merdeka rakyat banyak, di periode l883 hingga 1907, memuncak pada jawabannya dengan pengabdian berkurban nyawa sebagai pahlawan mengahadapi senjata kolonialis Belanda, sebagai teladan dengan nilai pusaka warisan bagi generasi penerus sebagai Raja Batak, yang tertempa dan seterusnya menjadi faktor yang ikut menentukan isi identitas

Ha-Batak-on, untuk diteladani dalam menyambut masa baru dalam pergulatan kreatif memasuki zaman Republik Indonesia ikut menyumbangkan semampunya untuk mencapai cita-cita Kemerdekaan Indonesia.

Selesai.


2 komentar:

Unknown mengatakan...

Horas tulang : lao manukkun jo au, ise do ompu parimbulubosi

Unknown mengatakan...

Horas tulang : lao manukkun jo au, ise do ompu parimbulubosi