Jumat, 05 September 2008

DALIHAN NA TOLU Di Bona Pasogit dan di Perantauan



Seminar 100 Thn Gugurnya Pahlawan Nasional
Raja Sisingamangaraja XII ( 26 Mei 2007)
Oleh : Dr. Darwin Lumbantobing
1
Pendahuluan
Budaya adalah suatu sistem penilaian terhadap akhlak, identitas kepribadian dan norma suku bangsa tertentu. Di samping itu, budaya juga merupakan media berkomunikasi dalam kehidupan sosial yang dapat membentuk, mengkontrol dan mendorong setiap pribadi untuk bertindak sesuai dengan nilai dan norma-norma moral yang dianutnya. Oleh karena itu, di samping agama, maka budaya selalu berfungsi sebagai sumber nilai moral dan hal-hal yang baik di dalam kehidupan manusia.
Budaya lahir, bertumbuh dan berkembang dari kebiasaan hidup manusia yang bermanfaat baik, sehingga selalu dipelihara, dipertahankan dan diwariskan secara turun-temurun. Oleh karena itu, tidak ada manusia yang tidak memiliki budaya dan tidak ada budaya yang tidak lahir dari kebiasaan hidup, yang diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian budaya dan kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan. Budaya menjadi media bagi manusia untuk mengekspressikan penilaian, hasrat dan keinginannya. Manusia juga selalu dipengaruhi budayanya dalam bertindak dan memahami segala sesuatu.

Setiap budaya selalu memiliki multi dimensi dalam kehidupan manusia. Bagi masyarakat Batak, misalnya, budaya berfungsi sebagai tatanan sosial, sumber norma moral, hukum dan kepercayaan. Dengan demikian semua aspek kehidupan masyarakat Batak selalu berhubungan langsung dengan budayanya. Peranan dan pengaruh budaya Batak tersebut masih terus ada dan masih dipelihara dan diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari, sekalipun masyarakat Batak modern sekarang ini sudah hidup sesuai dengan agama yang dianutnya, seperti Islam, Kristen dan lain-lain.
Salah satu aspek budaya Batak adalah kinship system, yang mengatur hubungan relasional antara sesama masyarakat Batak, yang dikenal dengan sebutan Dalihan Na Tolu. Dalihan adalah tiga batu tersusun tempat tungku untuk memasak, yang sama tingginya, sehigga tungku yang diletakkan di atasnya tidak oleng dan tidak miring. Ketiga batu tungku tersebut merupakan gambaran dari unsur-unsur kekerabatan masyarakat adat Batak, yaitu dongan tubu, hulahula dan boru. Ketiga unsur DNT tersebut berperan penting di dalam semua aspek pelaksanaan adat sesuai dengan budaya Batak.
Di samping ketiga unsur DNT tersebut, peranan dongan sahuta sangat penting dalam pelaksanaan dan kekerabatan masyarakat Batak, sehingga dikenal sebutan Dalihan Na Tolu, Paopathon Sihalsihal. Sihalsihal adalah batu penyangga ke empat, ketika ketiga batu tungku yang dimaksud dikhawatirkan tidak kuat menyangga tungku yang ada di atasnya. Peranan sihalsihal memberi gambaran bahwa kekerabatan dan pelaksanaan adat budaya Batak tidak akan berjalan sempurna apabila tidak melibatkan dongan sahuta yang berperan sebagai sihalsihal. Artinya, sebagaimana peranan dongan tubu, hulahula, boru yang sangat menentukan untuk pelaksanaan adat, demikian juga peranan dongan sahuta. Pelaksaaan adat dalam kebudayaan Batak tidak dapat berlangsung tanpa kehadiran dan keterlibatan secara langsung keempat usur kekerabatan masyarakat Batak tersebut. Bahkan dongan sahuta dilihat lebih penting karena posisinya dapat menjadi representasi suhut paidua – ‘tuan rumah’ kedua dalam suatu hajatan pesta adat Batak. Itu sebabnya orang Batak mengatakan: Jonok dongan tubu, jonokan dongan parhundul (hubungan sesama anggota sekampung jauh lebih dekat dengan hubungan sesama anggota keluarga semarga).
Dalam realitasnya, setidaknya pada masyarakat Batak tradisional, sebagaimana terungkap dari hasil penelitian V.C. Vergouwen, huta adalah suatu komunitas masyarakat Batak yang terikat dalam kebersamaan hidup sebagai masyarakat adat, hukum, sosial, politik dan ekonomi. Kebersamaan dalam komunitas itu diungkapkan dalam konsep pemahaman dongan sahuta, misalnya tentang kepemilikan bersama, ugasan hatopan, sahuta, sapansur, dan sisada anak dohot sisada boru. Itu sebabnya dalam umpama Batak dikatakan:
Tinallik landorung, bontarbontar gotana.
Sisada anak dohot sisada boru do na mardogan sahuta,
atik asingasing be margana.
Artinya, walaupun penghuni satu kampung terdiri dari berbagai marga, namun mereka memahami tanggung-jawab bersama terhadap setiap putra dan putri yang ada di kampung tersebut. Oleh karena itu, di samping komunitas kekeluargaan DNT, dongan sahuta menjadi suatu komunitas masyarakat Batak yang tidak kalah pentingnya dalam kehidupan sehari-hari. Dogan sahuta adalah penyangga yang sangat menentukan dalam kehidupan komunitas Batak yang diikat dalam kekerabatan DNT.
2
Falsafah Dalihan Na Tolu
Kedudukan dan posisi batu tungku dalam DNT secara metaforis menunjukkan peranan, posisi dan kedudukan setiap anggota masyarakat Batak dalam komunitas DNT. Masing-masing batu tungku itu tidak boleh lebih tinggi dari yang lain, atau lebih rendah dari yang lain. Batu yang satu tidak boleh lebih dekat kepada salah satu batu dari pada batu yang lain. Ketiga batu itu harus tersusun rapi, mempunyai tinggi yang sama, dan jarak yang sama antara yang satu dengan yang lain. Hanya dengan cara demikianlah ketiga batu tersebut berfungsi dengan baik, kokoh dan dapat menopang tungku yang berisi beban yang berat.
Dalam masyarakat Batak DNT, ketiga batu tungku itu merupakan representasi dari hulahula, dongan tubu, boru. Dalam hubungan kekeluargaan yang terjadi akibat perkawinan, maka hulahula adalah keluarga dan marga dari mana isteri datang. Dongan tubu adalah keluarga dan semarga pihak laki-laki atau suami. Boru adalah keluarga yang mengambil putri dari pihak laki-laki menjadi isterinya. yang mempunyai hubungan dan peranan satu dengan yang lain sesuai dengan relasi kulturalnya. Relasi kultural tersebut diungkapkan dengan: somba marhulahula – hormat kepada hulahula. Elek marboru – bersikap lembut terhadap boru, dan manat mardongan tubu - saling menghargai terhadap sesama dogan tubu.
Masyarakat Batak menganut system perkawinan mengambil istri dari marga yang lain, dan tidak boleh megambil istri semarganya. Dengan system seperti itu, maka setiap orang Batak yang sudah kawin akan dengan sendirinya memiliki peran sebagai hulahula, dongan tubu dan boru sesuai dengan posisi dan kedudukannya pada suatu kegiatan pelaksanaan adat budaya Batak atau di tengah keluarganya. Artinya, apabila yang melaksanakan adat itu adalah semarganya, maka psosisi dan peranannya adalah sebagai dongan tubu. Apabila yang melaksanakan adat itu adalah dari pihak marga isterinya, maka posisi dan peranannya adalah sebagai boru. Apabila yang melaksanakan adat itu adalah keluarga yang mengambil istri dari marganya maka posisi dan peranannya adalah sebagai hulahula. Dengan demikian peranan setiap orang Batak dapat sebagai hulahula, dongan tubu, dan boru, sesuai dengan posisinya dalam keluarga dan adat.
Setiap posisi dan peranan dalam relasi kutural DNT mempunyai karakter kepribadian sendiri-sendiri. Karakter dongan tubu selalu menunjukkan diri sebagai penanggung-jawab atas terlaksananya suatu kegiatan adat. Dalam pelaksanaan adat dan relasi kultural sehari-hari ia selalu bersikap akomodatif karena sebagai subjek dalam hubungannya dengan sesama dongan tubunya. Karakter hulahula adalah orang yang harus dihormati, yang selalu ditempatkan dalam posisi yang diutamakan, baik melalui ucapan, sapaan maupun melalui perbuatan. Oleh karena itu sebutan lain untuk hulahula adalah raja. Posisi hulahula sebagai raja adalah sebagai pengayom, penasehat bahkan pemberi perintah. Namun harus pula dicatat, bahwa pemahaman raja dalam relasi kultural Batak tidak sama dengan pemahaman raja yang berkonotasi kepada kekuasaan, hierarkhi jabatan dan wilayah kedudukan. Sekalipun ada ungkapan Batak mengatakan hulahula do sisombaon – hulahula harus disembah, maksudnya bukan menunjukkan kepatuhan karena kekuasaan dan bukan pula kepatuhan karena kepercayaan, melainkan karena menghormati – respect – dalam konteks budaya saja. Karakter boru adalah pelaksana dan pemberi tenaga agar pelaksanaan adat dari pihak hulahula berjalan dengan lancar dan baik. Apabila dongan tubu adalah pelaksana prinsip, hulahula sebagai penasehat, maka boru adalah pelaksana teknis. Boru adalah pihak yang bertanggung-jawab dalam melaksanakan suatu kegiatan adat. Itu sebabnya dikatakan bahwa boru do sisurusuruon – pihak boru adalah untuk disuruh melaksanakan sesuatu. Namun hal itu tidak pernah dipahami sebagai perendahan status sosial atau harkat dan martabat kemanusiaan, tetapi justru suatu kelayakan sesuai dengan posisinya sebagai boru.
Ketiga karakter kepribadian itu ada dalam diri setiap orang Batak. Setiap orang memiliki karakter hulahula, dongan tubu dan boru, yang tentunya tidak diugkapkan sekaligus dalam waktu yang sama, tetapi diungkapkan sesuai dengan posisinya pada waktu-waktu tertentu. Oleh karena ketiga karakter itu ada di dalam diri setiap orang Batak, maka sangat tidak dimungkinkan melekat sifat superior di dalam diri orang Batak ketika berperan sebagai hulahula, atau merasa inferior karena hanya sebagai boru. Atau merasa sebagai pihak penentu di dalam suatu pelaksanaan adat karena dalam posisi dongan tubu. Ketiga karakter itu dilakoni dalam posisi-posisi tertentu, di mana peranannya silih berganti sesuai dengan posisinya di tengah-tengah keluarga.
Dari karakter kultural itu lahirlah berbagai pola pikir dan pola laku, bahkan akhirnya merupakan local wisdom di kalangan masyarakat Batak. Misalnya ada ungkapan: Martampuk bulung, marbona sangkalan – menunjukkan bahwa dalam kekerabatan masyarakat Batak mempunyai hubungan satu sama lain, namun pasti ada keluarga yang paling dekat. Demikian juga umpama Batak yang mengatakan: Pitu batu martindi, alai sada sitaon na dokdok, yang menunjukkan bahwa dalam kegiatan adat atau kegiatan apa saja, semua orang dapat berperan, namun selalu ada orang yang paling bertanggung-jawab sesuai dengan posisinya di dalam masyarakat adat.
Karakter hulahula, dongan tubu dan boru yang dimiliki semua orang Batak adalah juga merupakan local wisdom. Sebab dengan demikian, setiap orang berperan sesuai dengan posisinya dan bertindak sesuai dengan tanggung-jawabnya. Dengan demikian DNT bukan hanya metaphor of kinship system – gambaran sistem kekerabatan masyarakat Batak, tetapi juga menjadi pandangan hidup dan hubungan sosial masyarakat Batak.
3
Dalihan Na Tolu:
Batak Social Security
Tidak dapat disangkal bahwa Batak atau habatakhon adalah salah satu identitas sosial bagi masyarakat Batak. Di samping agama yang kita anut, budaya dan adat yang bertumbuh dan berkembang di dalam relasi sosial kesukuan merupakan identitas yang sangat menentukan dalam diri seseorang. Adat dan budaya adalah media untuk berkomunikasi, berekspresi dan menyurakan suara hati yang terdalam, baik kepada sesama manusia maupun kepada Tuhan. Oleh karena itu adat dan budaya sebagaimana dapat ditemukan dalam metaphor DNT selalu dipelihara dan wariskan turun-temurun untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karenatu Dalihan Na Tolu dapat dikatakan sebagai Batak Social Security di kalangan masyarakat Batak. Sekalipun kehidupan masyarakat sekarang ini sudah heterogen dan bukan lagi homogen, baik di desa bona pasogit, maupun di kota, namun jalinan kekerabatan di kalangan sesama orang Batak masih sangat dibutuhkan. Apabila sesama orang Batak yang belum saling mengenal bertemu satu sama lain, maka mereka aka berkenalan dengan cara martarombo, memperkenalkan diri sesuai dengan silsilah marga yang ada dalam unsur-unsur DNT. Umpama Batak mengatakan:
Jolo tinittip sanggar mambahen huruhuruan,
jolo sinungkun marga asa binoto partuturan
Artinya: memperkenalkan diri dengan memberitahukan marganya sehingga diketahuilah posisinya sesuai dengan kekerabatan kultural DNT.
Setiap orang Batak dituntut oleh budaya DNT tersebut untuk mengetahui tarombonya, siapa dia sesuai dengan posisinya, apakah hulahula, dongan tubu atau boru. Bahkan beberape dekade terakahir ini, setiap marga telah memiliki ‘password’ marganya, yaitu generasi ke berapa dari marganya atau marga isterinya. Dengan mengetahui ‘password’ marga tersebut, seseorang akan dengan mudah menarik garis kekerabatan kultural dengan pihak lain.
Motif martarombo di kalangan masyarakat Batak adalah menunjukkan sikap keterbukaan untuk saling mengenal, sebagai langkah awal menjalin hubungan kekerabatan kultural, yang berlanjut kepada kekerabatan sosial. Di manapun orang Batak bertemu dengan orag lain, maka akan terdorong untuk berkenalan: apa marganya dan marga isterinya. Apabila tidak ada ada hubungan melalui marganya atau marga isterinya terhadap orang lain, demikian juga marga orag lain atau marga isterinya terhadap dirinya, maka akan dilanjutkan dengan memperkenalkan marga ibu atau marga salah satu kerabatnya yang lain sampai akhirnya ditemukan garis hubungan kekeluargaan. Dengan demikian satu sama lain dapat mengetahui posisinya masing-masing sesuai dengan unsur-unsur DNT.
Di samping itu, dalam upaya martarombo tersebut, masih dicoba mencari hubungan yang lain, yaitu dari mana kampung halamannya. Hal itu didorong oleh penghayatan eratnya hubungan dongan sahuta di kalangan orang Batak. Huta bagi masyarakat Batak merupakan ikatan emosi kultural yang tidak kalah pentingnya dengan kekerabatan marga dalam unsur-unsur DNT.
Sistem kekerabatan – kinship system – dan hubungan atau pertalian keluarga - the affinal relationship – suku Batak memiliki makna magico-religious character (Vergouwen, pp. 54-55). Oleh karena itu, ketidak-tahuan tarombo bukan hanya berarti ketidak-tahuan peran dan posisinya dalam unsur-unsur DNT. Hal tersebut akan dengan sendirinya menimbulkan perasaan ketidak-nyamanan hidup dalam komunitas masyarakat Batak. Oleh karena itu, bagai generasi muda yang berada di perantauan, yang tidak mengetahui tarombonya, adakalanya harus pulang ke kampung halamannya untuk menanyakan peri hal tarombonya. Atau harus bertanya kepada orangtuanya tentang silsilah marganya dan marga dari pihak ibunya. Sebaliknya dengan mengetahui tarombonya akan dengan sendirinya mempunyai posisi dan status dalam lingkungan masyarakat Batak.
Itulah sebabnya dikatakan bahwa peranan dan posisi seseorang dalam DNT merupakan social sececurity bagi orang Batak di lingkungan komunitas masyarakat Batak. Identitas habatakhon yang dimiliki dan dianutnya sangat ditentukan oleh peranannya dalam komunitas masyarakat Batak sesuai dengan posisinya dalam unsur-unsur DNT tersebut. Artinya habatakhon seorang Batak akan diragukan apabila ia tidak mengetahui dengan pasti siapa dia sesuai dengan garis keturunan marganya dan bagaimana hubungannya dengan marga lain, terlebih kepada pihak marga hulahulanya.
4
Komunitas Dalihan Na Tolu
Di Bona Pasogit dan di Perantauan
Salah satu dampak dari penghayatan habatakhon melalui DNT adalah semakin maraknya punguanpunguan – persekutuan yang berlatar belakang budaya Batak. Bruner memakai istilah Batak ethnic association (1972). Ada punguan marga – perkumpulan semarga. Ada persekutuan saompu – keturunan dari seorang bapak leluhur, dan ada puguan parsahutaon – persekutuan sekampung, bukan dalam arti STM - Serikat tolong-Menolong, tetapi persekutuan orang-orang yang berasal dari kampung halaman yang sama.
Persekutuan kultural samarga, saompu, sahuta ini dilaksanakan secara rutin satu kali dalam satu bulan. Ada oraganisasi kepengurusan yang sangat lengkap. Biasanya setiap persekutuan seperti ini mempunyai daftar anggota resmi, anggaran dasar dan peraturan rumah tangga, periodesasi kepengurusan, kegiatan atau program jangka panjang dan jangka pendek dan kegiatan-kegiatan sosial.
Persekutuan kultural ini dirakit dalam dua agenda pokok, yaitu arisan dan partangiangan – ibadah singkat. Tidak ada persekutuan marga yang tidak melakukan arisan yang biasanya dilaksanakan kaum ibu dan melakukan ibadah yang diikuti semua anggota persekutuan tersebut. Atas dasar kedua aktivitas tersebut, tidak jarang persekutuan kultural itu mempunyai program aksi sosial dan melaksanakan kegiatan persekutuan rohani, persis seperti yang dilakukan gereja, misalnya perayaan Natal bersama atau Perayaan Paskah. Dengan demikian persekutuan marga yang berlatar belakang budaya ini tidak lagi sekedar persekutuan kultural tetapi juga sudah menjadi persekutuan rohani, sekalipun anggotanya terdiri dari berbagai denominasi gereja. Itu pula salah satu sebab, mengapa persekutuan marga ini sangat hidup di kalangan orang Batak yang beragama Kristen.
Menurut penelitian Bruner (1972), persekutuan ethnik Batak ini sangat menjamur dan hidup justru di perkotaan di perantuan, seperti Medan, Jakarta dan Bandung. Setelah lebih tiga puluh berlalu, penelitian Brunner tersebut masih benar sesuai dengan realitas yang ditemukan di kalangan masyarakat Batak di perantauan masa kini. Akan tetapi persekutuan berlatar belakang budaya atau marga itu bukan lagi hanya ditemukan di daerah perkotaan atau perantauan, melainkan juga di bonapasogit, di kampung halaman. Di Tarutung misalnya, ada persekutuan Pomparan Si Raja Lumbantobing. Di Balige ada juga persekutuan Pomparan Somba Debata, yiatu marga Siahaan, dan lain-lain. Akan tetapi yang agak aneh, ada persekutuan marga yang mengklaim birsifat nasional bahkan sedunia dan berkantor pusat di Jakarta, bukan di boapasogit. Ini pertanda bahwa yang sangat kuat melaksanakan persekutuan budaya adalah masyarakat Batak yang ada di perantauan, bukan masyarakan yang ada di bonapasogit.
Ada berbagai alasan mengapa persekutuan yang berlatar-belakan budaya kesukuan itu dimanati dan tetap hidup di kalangan masyarakat Batak, khususnya yang ada di perantauan. Pertama, persekutuan budaya atau persekutuan marga merupakan tempat pertemuan sesama keturunan atau pomparan leluhurnya. Persekutuan itu menjadi suatu kebutuhan sosial, karena di sana akan terjadi silaturahmi dan hubungan kekeluargaan yang erat dan familier di antara saompu. Kedua, karena semakin minimnya kesempatan berinteraksi sosial di kalangan masyarakat Batak di perantauan, maka selain gereja yang berlatar belakang etnis Batak, persekutuan marga dan budaya menjadi satu-satunya forum komunitas Batak yang ada. Ketiga, kerinduan bonapasogit dalam arti luas, tidak hanya sekedar mudik atau pulang kampung saja tetapi menikmati dan bernostalgia akan suasana, kekerabatan dan kekeluargaan ketika di bonapasogit, menjadi daya tarik tersendiri untuk menjadi bagian dari komunitas masyarakat Batak di perantauan. Hal itu hanya dapat ditemukan di dalam persekutuan yang berlatar-belakang ethnis tersebut. Keempat, bagi mereka yang menikmati spiritualitas melalui budaya Batak akan lebih cenderung megekspressikan imannya melalui bahasa dan budaya Batak. Oleh karena itu persekutuan kultural seperti persekutuan marga dapat menjadi sarana ibadah sesuai dengan agama yang diimaninya. Kelima, persekutuan kultural seperti persekutuan marga, parsadaan saompu, sahuta, berlangsung dalam relasi kultural, sehingga relasi anggota persekutuan satua sama lain adalah merupakan praktek kinship system dan affinal relationship Batak sebagaimana dijelaskna melalui DNT. Dengan demikian persekutuan kultural tersebut merupakan wadah dan forum persaudaraan yang ditata sesuai dengan unsur-unsur DNT.
Oleh karena itu, pelaksanaan adat budaya Batak, seperti adat perkawinan dan acara adat lainnya, sangat dipelihara dengan baik di daerah perantauan. Bahkan ada anggapan bahwa orang-orang Batak di perantauan lebih ketat melaksanakan adat budaya Batak sesuai dengan unsur-unsur DNT , dengan alasan sebagai upaya pelestarian budaya dan tradisi Batak yang dianggap masih relevan dan aktual diberlakukan dalam kehidupan masyarakat modern. Upaya tersebut tentunya tidak mengabaikan semangat yang menekankan agar pelaksanaan adat Batak dilakukan secara ekonomis, dalam arti tetap menjaga efisiensi waktu, materi dan jasa yang ada di dalam pelaksanaan adat tersebut.
5
Implikasi Dalihan Na Tolu
Terhadap Komunitas Batak
Kini dan Masa Depan
Kini masyarakat Batak, di mana pun berada, hidup di tengah berbagai suku dan agama yang lain. Orang hidup Batak, baik di bonapasogit maupun di perantauan, selalu berhubungan, bersentuhan dan berinteraksi sosial dengan suku dan penganut agama yang berbeda dengan yang dianutnya. Oleh karena itu menjadi penting untuk dipertanyakan, apakah identitas Batak dan habatakhon itu hanya milik satu kelompok saja, atau dari satu penganut agama saja? Apakah budaya Batak dan habatakhon dapat bertumbuh dengan subur dan berdampak positif terhadap orang Batak secara keseluruhan, baik penganut agama Islam, Kristen, Parmalim dan yang lain? Sebab pada kenyataannya, Batak dan habatakhon itu masih hanya merupakan identitas dari sebahagian orang Batak saja. Oleh karena itu, pertanyaan yang perlu dijawab adalah: bagaimana agar identitas Batak dan habatakhon itu dapat menjadi identitas bersama sebagai suku Batak, tanpa dibatasi agama dan kepercayaan yang dianut setiap orang Batak.
Pertanyaan itu tentunya harus dijawab secara bijak, sehingga jawabannya tidak bertentangan dengan pemahaman, tradisi dan kebiasaan yang sudah hidup dan dianut di dalam hidup keberagamaan tertentu. Hal itu sangat dimungkinkan, terlebih dalam praktek kekerabatan Batak dengan kinship system DNT yang dianutnya. Degan demikian pelaksanaan dan penghayatan DNT tersebut dapat menjadi perekat persatuan masyarakat Batak, di manapun berada dan agama apapun dia. Setidaknya persaudaraan dan kekerabatan masyarakat Batak yang sudah diatur dalam DNT dapat applikasikan dan lebih dieffektifkan, sehingga menjadi masyarakat yang bersatu menuju masa depan yang lebih baik.
Dengan demikian ada berbagai lapisan persekutuan yang kita miliki untuk selalu dihayati dan disyukuri. Lapisan pertama adalah persekutuan di kalangan umat beragama yang satu agama. Persekutuan ‘seagama’ itu tentu sah-sah saja dan sangat baik, sesuai dengan tuntutan ajaran dari agama itu sendiri. Akan tetapi kita masih memiliki persekutuan dalam bentuk lapisan yang lain, yaitu sebangsa dan setanah air. Ini juga sangat penting, karena persatuan dan kesatuan bangsa merupakan penyangga kekuatan utama negara kita. Lapisan berikutnya adalah persekutuan sesuku, sebagai masyarakat yang berasal dari etnis, budaya dan pola pikir yang sama, yaitu Batak dan habatakhon. Persekutuan ini melampaui sekat-sekat perbedaan agama dan kepercayaan, daerah tempat tinggal, kawasan kehidupan, bonapasogit atau perantauan, bahkan kalau ada melampaui batas negara dan kebangsaan. Salah satu bentuk persekutuan budaya yang paling praktis adalah menghayati dan melaksanakan hidup persaudaraan sesuai dengan norma dan tatanan DNT tersebut. Dengan demikian kekerabatan dan relasi kultural berdasarkan azas DNT perlu disosialisasikan, diterapkan dan diaplikasikan dalam konteks kehidupan yang lebih luas sehingga menjadi dasar dan azas membangun relasi sosial dalam kehidupan bersama.


Buku Sumber:
1. Bruner, Edward, M, Batak Ethnic Association in the Three Indonesian Cities, Albuquerque, The University of Mexico Press, 1972.
2. Cunningham, The Postwar Migration of the Toba Bataks to East Sumatra, New Haven, South East Asia Syudies, Culktural Report Series, 1958.
3. Vergouwen, J.C, The Social Organization and Customary Law of the Toba Batak of North Sumatra, Martinys Nijhoff, The Hague, 1968.
4. Pedersen, Paul B., batak Blood and Protestant Soul, Grand Rapid, Michiga, Wm B. Eerdmans, 1970.
5. Rodgers, Susan, Angkola Batak Kinship Through Its Oral Literature, PhD Disertation, Anthropology Fept, University of Chicago, 1978.
6. Siahaan, Nalom, Adat Dalihan na Tolu, Jakarta, Grafina, 1982.
Penulis:
Darwin Lumbantobing, lahir 22 Agustus 1956, di Kampung Rawang Kisaran. Doktor Teologi (Lutheran School of Theology / Sekolah Tinggi Theologia Jakarta, 1999). Kini melayani sebagai dosen Teologi Systematik di Sekolah Tinggi Theologia HKBP Pematangsiantar, sekaligus menjabat Kepala Penelitian dan Pengembangan STT HKBP dan Executive Secretary L-SAPA (Lembaga Studi Agama, Pembangunan dan Budaya) Pematangsiantar. Buku terakhir yang ditulis: Lam Tajom Dung Matolpang, (L-SAPA, 2006) sutu refleksi teologis melalui ungkapan dan umpama Batak; dan Berteologi di Pasar Bebas, (L-SAPA, 2007), tentang teologi kontekstual dalam era komunikasi sekarang ini. Bertempat tinggal di kampus STT HKBP Pematangsiantar, Jln. Sang Nawaluh No. 6 Pematangsiantar, 21132.

Tidak ada komentar: